JAKARTA - Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai kurang transparan dalam melakukan proses penyederhanaan kurikulum yang rencananya akan mulai diterapkan pada 2021 mendatang.
Ketidaktransparanan itu terlihat dari kasus bocornya beberapa draf atau rancangan terkait penyederhanaan kurikulum tersebut ke publik. Jika dinilai dari draf yang bocor tersebut, terkesan bukan sekadar penyederhanaan, tapi perubahan cukup signifikan.
Salah satu contohnya, ada beberapa mata pelajaran baru dalam draf rancangan kurikulum yang beredar. Misalkan, pendidikan vokasional, pendidikan karakter, dan magang.
"Apanya yang sederhana, jelas itu strukturnya berubah. Seharusnya, Kemendikbud percaya diri saja menunjukkan desain penyederhanaan kurikulum tersebut," kata Koordinator P2G, Satriwan Salim dalam diskusi virtual, Kamis (1/10)
Menurut Satriwan, ketika Kemendikbud melakukan proses penyederhanaan kurikulum harus melibatkan partisipasi publik ataupun stakeholder seperti sejarawan atau Perkumpulan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (P3SI).
"Mas Menteri (Nadiem Makariem) harusnya blak-blakan saja, apalagi ini ranah publik. Bukan ranah privat," ujarnya.
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Sumardiansyah Kusuma meminta Kemendikbud tak menggeser posisi mata pelajaran (mapel) sejarah dari mapel wajib menjadi sekadar pilihan.
"Konteks yang kami maskud bukan hilang literal, tapi bergeser dari wajib ke pilihan," kata Sumardiansyah.
Sumardiansyah menjelaskan, dalam kurikulum saat ini, pelajaran sejarah menjadi mapel wajib bagi kelas 11 dan 12. Namun, dalam draf penyederhanaan kurikulum yang bocor ke publik, berubah menjadi pilihan.
Draf itu juga memasukkan pelajaran sejarah menjadi bagian IPS pada kelas 10 bersama dengan ekonomi, sosiologi, dan geografi. Situasi ini bakal mengurangi jam mapel sejarah di sekolah.
"Artinya, jumlah durasinya selama 4 jam dalam 3 bulan karena sistemnya blok," ujarnya.
Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah juga meminta, Kemendikbud dapat mengkaji secara komprehensif rencana penyederhanaan kurikulum tersebut dari segi efektivitasnya.
"Artinya, penyederhanaan kurikulum kira-kira menjawab atau tidak tujuan pendidikan nasional," ujar Ferdiansyah
Ferdiansyah menjelaskan. bahwa sejak 1947 Indonesia telah menggunakan 10 kurikulum yang berbeda. Apabila rencana penyederhanaan kurikulum ini sama seperti membuat kurikulum baru, maka ini akan menjadi yang kesebelas.
"Artinya, setiap sekitar enam tahun terjadi perubahan kurikulum. Kami bukan alergi perubahan kurikulum, tapi juga harus dilihat jangan sampai ini merugikan masyarakat," tegasnya.