Awas! Langgar Protokol Kesehatan pada Tahapan Pilkada Bisa Dipidana

fin.co.id - 09/09/2020, 10:00 WIB

Awas! Langgar Protokol Kesehatan pada Tahapan Pilkada Bisa Dipidana

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada tawar menawar soal penerapan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 dalam setiap tahapan pelaksanaan Pilkada 2020. Keselamatan masyarakat adalah yang utama. Pelanggar protokol kesehatan saat tahapan Pilkada dapat dijerat pidana.

"Perlu saya tegaskan kembali, bahwa keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat adalah segalanya. Jadi protokol kesehatan tidak ada tawar-menawar," tegas Jokowi dalam rapat terbatas Pembahasan Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/9).

Menurutnya, cara terpenting saat ini untuk menangani masalah kesehatan adalah dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Karena itu, protokol kesehatan mutlak harus dilaksanakan di setiap tahapan Pilkada Serentak 2020. "Kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggara Pilkada harus dilakukan. Harus ditegakkan dan tidak ada tawar-menawar," paparnya.

BACA JUGA:  Kaitkan Radikalisme dengan Hafiz, DPR Ragukan Keislaman Menag Fachrul Razi

Dia mengaku melihat masih banyak bakal pasangan calon (bapaslon) yang melanggar protokol kesehatan. Seperti berkerumun, arak-arakan sampai konser saat pendaftaran di KPUD. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut hal itu tidak bisa dibiarkan.

Hal senada disampaikan Ketua Bawaslu RI Abhan. Dia menegaskan para pelanggar protokol kesehatan saat tahapan Pilkada dapat dipidana. Sanksi terkait protokol kesehatan ada dua. Yaitu administratif dan pidana.

"Sanksi administratif murni kewenangan Bawaslu dan KPU. Yakni berupa teguran, saran perbaikan atau menghentikan proses yang dilakukan pasangan calon. Sedangkan pidana diatur di undang-undang selain undang-undang pilkada," jelas Abhan di Jakarta, Selasa (8/9).

Menurutnya, dalam UU Pilkada maupun Peraturan KPU (PKPU) tidak mengatur sanksi pidana pelanggar protokol kesehatan. Namun, ada UU lain di luar UU pilkada yang bisa diterapkan. "Ada pasal 212 dan 218 KUHP," imbuh Abhan.

BACA JUGA:  Bahagianya El Ibnu, Kini Ada Mantan Kekasih Bersedia Merawatnya

Pasal 212 KUHP berbunyi, "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban UU atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500".

Sedangkan Pasal 218 KUHP berbunyi "Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah 3 kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompok dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000".

Selanjutnya ada pasal 93 UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 93. Pasal itu menyebutkan "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta".

BACA JUGA:  Telepon Trump, Raja Salman Tegaskan Tak Ada Normalisasi dengan Israel Sebelum Palestina Merdeka

"Ditambah juga penerapan UU No. 4 tahun 1984 tentang tentang wabah penyakit menular. Ini wilayah pidana umum. Jadi murni kewenangan kepolisian. Tugas Bawaslu meneruskan persoalan ini ke polisi," ucapnya.

Selain itu, lanjut Abhan, masih ada juga peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan wali kota dan peraturan daerah. Masing-masing mengatur sanksi administratif dan pidana terkait protokol kesehatan.

"Yang paling penting adalah pencegahan. Apa artinya penindakan kalau sudah menyebabkan banyak orang tertular. Jadi agar jangan sampai ada kerumunan. Kita yang punya kewenangan agar dapat membubarkan massa," urainya.

Abhan juga mengantisipasi akan adanya kerumunan setelah KPU mengumumkan nama pasangan calon peserta pilkada pada 23 September 2020 mendatang.

BACA JUGA:  MenkopUKM Harap UMKM dan Koperasi Mampu Bertahan dengan Perubahan Pasar

"Ada potensi ketika ada yang protes atas penetapan paslon yang ditetapkan dan mengajukan keberatan ke Bawaslu sambil membawa massa. Kami akan melakukan pencegahan. Pasangan yang membawa massa banyak tidak akan diregister. Sebenarnya cukup penasihat hukum yang mengajukan," bebernya.

Sementara itu, Ketua KPU RI, Arief Budiman memperbolehkan peserta Pilkada 2020 melakukan kampanye terbuka. Namun, jumlah yang hadir maksimal 100 orang. "Kampanye yang dihadiri secara fisik oleh peserta dibatasi paling banyak 100 orang saja," kata Arief di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (8/9).

Untuk rapat umum hanya dua kali dalam pemilihan gubernur. Sedangkan untuk pemilihan bupati dan wali kota hanya satu kali. Selebihnya, kampanye dapat dilakukan secara online. "Untuk pertemuan terbatas atau dialog dibatasi 50 orang yang bisa hadir secara fisik. Selebihnya secara daring," jelasnya.

BACA JUGA:  Christ Wamea Sentil Jokowi: Ada Pemimpin yang Baru Sadar, Semoga Buzzernya Juga Ikut Sadar

Selain itu, untuk kegiatan debat publik dalam satu ruangan dibatasi maksimal 50 orang. "Jadi, kalau ada dua pasangan calon, maksimal 50 orang harus dibagi untuk dua kontestan. Kalau ada tiga pasangan, yang 50 orang dibagi untuk tiga kontestan," paparnya.

Aturan itu, lanjut Arief, merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa rapat umum tetap menjadi bentuk kampanye para kontestan. "UU tidak membatalkan bentuk kampanye tersebut. Maka, KPU tidak bisa menghilangkan metode kampanye yang sudah ditetapkan UU. Tetapi KPU mengatur dengan mematuhi protokol kesehatan. Itulah mengapa rapat umum diatur, bahkan seluruh kegiatan kampanye ada ketentuan agar dilakukan secara daring," bebernya.

Bila tidak bisa dilakukan secara daring, pertemuan fisik diatur dengan protokol kesehatan. Tujuannya tidak menimbulkan penyebaran COVID-19. Namun, hal tersebut juga membutuhkan kepatuhan pihak penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih.

Admin
Penulis