”Kami di DPD RI sudah memberikan masukan kepada Presiden agar serius memperhatikan tiga sektor ketahanan,” urainya.
Masukan ke Presiden itu ada delapan poin, yakni ketahanan sektor kesehatan, ketahanan sektor pangan dan ketahanan sektor sosial.
”Tiga sektor inilah yang sebenarnya menjadi ujung tombak dari kerja Komite ini. Kami juga telah memberikan masukan agar pemulihan ekonomi difokuskan dengan membangun dan memperkuat sektor usaha yang dapat menjadi pengungkit ekonomi,” paparnya.
Sehingga, lanjut dia, benar-benar menjadi penggerak ekonomi masyarakat. Terutama di daerah. Karena kami punya pengalaman saat melakukan serap aspirasi di Provinsi Aceh.
”Dimana Aceh, seperti kita ketahui mendapatkan tambahan dana Otonomi Khusus, tetapi masih saja menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Kenapa? Karena dana Otsus tersebut tidak 9 diwujudkan dalam program ekonomi pengungkit di Aceh,” imbuhnya.
Tetapi, lanjut Lanyalla, diwujudkan dalam bentuk program-program karitatif, seperti perbaikan fasillitas publik dalam skala kecil dan kegiatankegiatan yang tidak memiliki efek ekonomi berantai.
”Nah, Indonesia hari ini, dimana resesi sudah di depan mata, jelas membutuhkan momentum pengungkit yang kuat untuk bisa lepas dari krisis akibat pandemi ini. Dan sektor sasaran yang akan diungkit juga harus tepat,” timpalnya.
Jika melihat data PDB Indonesia saat ini, hanya tiga lapangan usaha yang masih memberikan kontribusi positif pertumbuhan ekonomi. Yakni, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Lantas bagaimana dengan sektor lainnya dalam konteks pemulihan ekonomi? ”Jawabanya cuma satu dua kata apa itu? Butuh Relaksasi. Karena memang hanya dengan jurus relaksasi atau keringanan yang diberikan akan dapat memperpanjang nafas sektor-sektor yang sudah pasti akan minus tersebut. Seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan pertambangan,” urainya.
Caranya? minimalisir biaya dan kerugian mereka. Dengan apa? Beri beberapa insentif melalui skema stimulus perbankan, pajak, retribusi daerah, biaya beban PLN, asuransi, BPJS tenaga kerja, dan aturan kepailitan. Ini bisa ditempuh melalui Perpu atau Omnibus Law.
Sehingga sekali lagi, Komite ini akan memberikan dampak signifikan untuk mencapai apa yang sudah dicanangkan pemerintah melalui pidato Presiden Joko Widodo di Sidang Tahunan MPR tanggal 14 Agustus 2020 lalu.
Dimana, sambung Lanyalla, pemerintah dengan optimis memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2021 akan mencapai angka dikisaran 4,5 hingga 5,5 persen. Jadi, akan sulit melakukan justifikasi bahwa Komite ini gagal melaksanakan tugas sesuai Perpres 82/2020.
Mengingat serapan anggaran dari kementerian dan lembaga terhadap dana penanganan pandemi dan dampaknya baru dikisaran 21 persen. ”Tetapi kita harus obyektif melihat bahwa roadmap dan sistematika dalam Perpres tersebut sudah benar,” pungkas Lanyalla yang memantik tanggapan dari sejumlah pembicara. (fin/ful)