Butuh Realisasi, Bukan Angka!

fin.co.id - 26/08/2020, 09:39 WIB

Butuh Realisasi, Bukan Angka!

JAKARTA – Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dari Januari hingga Juli 2020 menembus angka Rp330,2 triliun atau 2,01 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara realisasi pendapatan negara hingga Juli 2020 mencapai Rp922,2 triliun atau 54,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.699,9 triliun.

Dalam posisi ini, sejumlah pengamat pun menilai, Indonesia dalam kondisi tertekan. Apa pun caranya, tidak ada kata lain Pemerintah Pusat dan Daerah harus segera merealisasikan suplai stimulus guna menjaga daya beli masyarakat, dan membantu penguatan konsumsi rumah tangga maupun investasi, yang merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pasalnya, jika rentang kendali yang begitu besar dari sisi defisit anggaran, dan konsumsi masyarakat, jelas berimplikasi pada semua sektor. Yang paling rawan adalah jumlah pengangguran yang bertambah, angka kriminalitas naik, dan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah pun turun.

BACA JUGA:  Saling Serang Komentar, Said Didu ke Ferdinand: Apa yang Pernah Kamu Lakukan Buat Negara?

”Psikologi masyarakat sekarang ini sudah berbeda. Keluar, cari makan. Agar semua kebutuhannya terealisasi. Keselamatan jiwa, risiko yang ada terabaikan, karena perut. Masyarakat tak mau tahu soal angka-angka yang disodorkan pemerintah. Baik soal defisit anggaran, apalagi soal pemasukan negara,” tandas Sosiologi dari Universitas Lampung Maruli Hendra Utama, Selasa (25/8).

Penetrasi utang negara, sambung mantan Aktivis 98 itu, harus mampu direalisasikan dalam wujud kerja. ”Bukan wujud kerja untuk pemerintah itu sendiri. Tapi untuk rakyatnya. Sekali lagi jangan bicara berapa yang sudah disuplai untuk rakyat yang terdampak, tapi bagaimana menggairahkan ekonomi. Itu kuncinya,” jelas Maruli kepada Fajar Indonesia Network (FIN).

Maka, sambung Maruli tekankan pada stimulus. Bantuan lunak dan keringanan bunga bagi mereka yang menyodorkan bantuan. ”Jangan sodorkan angka-angka kepada rakyat. Suplai stimulus, tidak berbelit-belit. Itu paling utama. Realisasikan segara, jangan menunggu terlalu lama,” tandasnya.

BACA JUGA:  Ferdinand: Kaum HTI Intoleran Benturkan Saya dengan Demokrat, Mereka Harap Saya Dipecat

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pendapatan tersebut turun 12,4 persen (yoy) dibandingkan periode sama 2019 yaitu sebesar Rp1.052,4 triliun yang tumbuh 5,8 persen dari Juli 2018. ”Pertumbuhannya adalah minus 12,4 persen yang salah satunya karena semakin banyak masyarakat dan dunia usaha yang memanfaatkan insentif pajak,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (25/8).

Pendapatan negara turun, karena penerimaan perpajakan terkontraksi hingga 12,3 persen (yoy) yaitu hanya Rp711 triliun atau 50,6 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.404,5 triliun.

Ia merinci penerimaan perpajakan terdiri atas penerimaan pajak Rp601,9 triliun yang realisasinya 50,2 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun dan terkontraksi hingga 14,7 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp705,4 triliun. ”Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi sepanjang Januari hingga Juli tahun ini yang disebabkan perlambatan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19,” ungkapnya.

BACA JUGA:  MenkopUKM Siap Dukung Pemda Kembangkan  Lima Produk Destinasi Wisata

Untuk PPh migas yang terealisasi Rp19,8 triliun atau 62,1 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp31,9 triliun, terkontraksi hingga 44,3 persen dibanding periode sama tahun lalu Rp35,5 triliun.

Sementara, untuk PPh nonmigas yang terealisasi Rp582,1 triliun atau 49,9 persen dari target dalam Perpres 72/2020 yakni Rp1.167 triliun, turut mengalami kontraksi mencapai 13,1 persen dibanding Juli 2019 sebesar Rp669,9 triliun.

Kemudian, untuk penerimaan kepabeanan dan cukai terealisasi Rp109,1 triliun atau 53 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp205,7 triliun yang mampu tumbuh 3,7 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp105,2 triliun.

Pertumbuhan positif pada penerimaan kepabeanan dan cukai ditunjang realisasi cukai yang mencapai Rp88,4 triliun atau lebih tinggi 7 persen dibandingkan Juli tahun lalu dan merupakan 51,3 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp172,2 triliun.

BACA JUGA:  Denny Siregar: Sejak Puluhan Tahun, Hanya Jokowi yang Mampu Bangun Tol di Aceh

Di sisi lain, untuk pajak perdagangan internasional terkontraksi 8,4 persen yaitu realisasinya adalah Rp20,6 triliun yang merupakan 61,6 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp33,5 triliun. Selanjutnya, untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yaitu sebesar Rp208,8 triliun yang terkontraksi hingga 13,5 persen (yoy) dan telah mencapai 71 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp294,1 triliun.

”Tak hanya itu, pendapatan negara juga berasal dari realisasi penerimaan hibah Rp2,5 triliun yang telah mencapai 189,2 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1,3 triliun dan tumbuh 561,6 persen (yoy) dari periode sama tahun sebelumnya Rp0,4 triliun,” terangnya.

Wanita kelahiran Bandarlampung, 26 Agustus 1962 itu menyebut defisit 31,8 persen terhadap pagu APBN dalam Perpres 72/2020 yang sebesar Rp1.039,2 triliun triliun atau 6,34 persen terhadap PDB. ”Data (Defisit) ini menggambarkan penerimaan mengalami tekanan sedangkan belanja naik akibat Covid-19,” katanya.

BACA JUGA:  90 Dokter Gugur, Pemerintah Akan Batasi Jam Kerja Tenaga Kesehatan

Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga Juli tahun ini tumbuh 1,3 persen (yoy) yaitu sebesar Rp1.252,4 triliun dari Rp1.236,3 triliun pada periode sama tahun lalu. Sri Mulyani menyebut realisasi Rp1.252,4 triliun tersebut merupakan 45,7 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp2.739,2 triliun.

Pertumbuhan belanja negara ditunjang oleh belanja pemerintah pusat sebesar Rp793,6 triliun yang tumbuh 4,2 persen dari periode sama 2019 yakni Rp761,3 triliun dan 40,2 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.975,2 triliun.

Realisasi belanja pemerintah pusat yang tumbuh 4,2 persen itu didorong oleh belanja bantuan sosial Rp117 triliun atau 68,6 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp170,7 triliun dan mampu tumbuh hingga 55,9 persen

”Oleh karena itu dampaknya terhadap defisit APBN sangat besar yaitu di dalam perpres sampai akhir tahun estimasi sebesar 6,34 persen dari PDB dan sampai akhir Juli defisit adalah 2 persen,” paparnya.

BACA JUGA:  Sinopsis Beyond The Reach, Kisah Perburuan Kolektor yang Alihkan Target

Menanggapi hal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang diperkirakan pada kisaran 4,5-5,5 persen bergantung perbaikan kinerja pada 2020.

Admin
Penulis