Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

fin.co.id - 12/08/2020, 07:10 WIB

Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

Disinggung adanya penjarahan harta Ahmadiyah, sambung dia, seharusnya aparat yang berwenang melakukan upaya penindakan. ”Secara status lahan, tentu itu adalah hak keperdataan Ahmadiyah. Tentu harus dikembalikan. Kalau dikerjasamakan harus dilakukan hukum kontrak yang fair. Kalau penjarahan wajib dipidanakan. Itu pelanggaran hukum,” jelasnya.

Ismail menjelaskan kebencian yang terjadi pasca konflik akibat rekonsiliasi  di tataran grass roots (akar rumput) karena langkah yang diambil pemerintah saat ini pun terbilang masih diskriminasi yakni meminta warga Ahmadiyah atau kaum minoritas untuk mengalah. Salah satunya terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah.

Surat yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung pada 2008, juga telah menjadi legitimasi berbagai keputusan daerah untuk membatasi gerak jemaah Ahmadiyah. Kendati demikian, sambung Ismail, SKB menjadi ikhtiar jalan tengah negara meredam konflik meski dalam tataran praktis terus timbul ketersingungan.

”Jadi memang pemerintah hadir, tapi memaksa warga Ahmadiyah untuk mengalah, ya itu sama saja bohong. Ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar bernegara kita,” ujarnya.

Solusinya saat ini, sambung dia, tentu kita wajib meyakinkan pemerintah untuk mematuhi prinsip konstitusi untuk menjaga semua warga negara termasuk Ahmadiyah. Mereka tetap bebas dan mendapat haknya sebagai warganegara pada umumnya.

”Jadi harus ada satu resolusi konflik yang adil. Prinsip keadilan yang pertama adalah menjamin hak-hak masyarakat. Lalu bagaimana jika ada poin yang tidak disepakati, baru kita bicara konsep teori konflik, tapi kalau bicara konstitusi, maka apapun agamanya dia harus tetap hidup. Jadi nyaris negara tidak ada formula  resolusi konflik,” terangnya.

Disinggung ancaman pembunuhan warga Ahmadi jika kembali ke Cikeusik, Ismail melihat itu menjadi persoalan baru bagi pemerintah.Seharusnya, pemerintah pro aktif menanggapi hal ini bisa melalui jerat pidana pasal pengancaman. ”Kalau lewat formula hukum semua ada caranya (jalan keluar-red). Kalau sudah ada ancaman artinya  negara tidak menjamin rasa aman warganya.  Cuma masalahya ini unwilling dan unable ( ketidakhadiran dan keengganan) pemerintah dalam keselamatan mereka,” bebernya.

Bagi Ismail, permintaan taubat yang disampaikan masyarakat Cikeusik kepada para Ahmadi hanyalah modus untuk memaksa kayekinan mereka. Namun, hal ini bukan solusi yang mapan karena menyangkut hak warga negara untuk memeluk keyakinannya masing-masing.

”Formula Tobat sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh warga Ahmadiyah Kuningan saat memperoleh KTP. Mereka akhirnya bisa mendapatkan KTP setelah bersaksi beragama Islam, dan mereka (Ahmadiyah) kan Islam, percaya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul,” paparnya.

Terpisah, Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Muhammad Adlin Sila mengatakan dari analisa mereka bahwa rekonsiliasi perdamaian masih terbentur pada konsep teologi. Banyak di antara masyarakat yang menganggap prasyarat tauhid adalah jalan keluar.

”Problemnya yang menjadi penghalang saat ini adalah urusan teologis yang belum terselesaikan. Faktor teologis ini menjadi faktor dominan. Hingga kini belum ada titik temu, bagaimana mungkin Ahmadiyah diminta menolak Mirza Ghulam Ahmad sebagai pewaris nabi selanjutnya, ataupun Syiah diminta untuk tidak percaya 12 imam setelah Nabi Muhammad SAW, tentu tidak ada titik temunya, ” paparnya.

Adlin juga membantah SKB Tiga Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah ikut ambil bagian dalam menekan kebebasan Ahmadi dalam beribadah. Justru baginya, SKB dibuat pemerintah agar keselamatan warga Ahmadiyah terjamin.

”Dalam 12 poin SKB,tertulis bahwa  tidak mengakui dan tidak melarang kelompok Ahmadiyah. Mereka dilarang menyebarkan dan mengajarkan ke agama lain untuk ke Ahmadiyah, dan masyarakat juga dilarang untuk menyerang Ahmadiyah. Jadi baru sebatas itu,” ujarnya.

Namun, Adlin mengakui, pelaksanaan SKB di lapangan terjadi miskomunikasi. Menurutnya ada penafsiran berbeda dari masyarakat sekitar yang melihat ibadah internal jamaah Ahmadiyah melanggar SKB tiga menteri tersebut dan anggapan sebagai upaya menyebarkan pahamnya ke warga lain. ”Nah masalah ini belum selesai, dan kita masih mencari wacana resolusi damainya,” ujarnya.

Di sisi lain, Adlin menilai banyak masyarakat maupun ormas yang salah kaprah atas poin SKB Ahmadiyah. Masalah lain pun terjadi dalam tataran regulasi seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 mengenai Pendirian Rumah Ibadat.

Admin
Penulis