Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

fin.co.id - 12/08/2020, 07:10 WIB

Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

KISAH RELOKASI PAHIT AHMADIYAH CIKEUSIK

Sudah sembilan tahun lamanya, Nayati (44) dirundung kesedihan. Wanita yang menjadi saksi mata prahara penyerangan Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang tidak hanya kehilangan keluarga dan saudaranya, namun juga ribuan meter lahan pertanian dan pekarangan ikut menjadi jarahan orang. Hasil lahan pertanian mereka dikeruk orang tidak bertanggung jawab, sementara Nayati harus membayar pajaknya yang setiap tahun ditanggungnya.

TOGAR HARAHAP- Banten Selatan

Rumah Nayati berada di halaman Masjid Mahmudda. Lebarnya tidak terlalu luas, hanya 6x5 meter. Meski mini, keluarga Nayati merasa aman di Kompleks Jemaat Ahmadiyah Tangerang tersebut. Tidak ada lagi mimpi buruk dalam tidurnya saat diterima Jamaah Ahmadiyah untuk tinggal di sana, sembilan tahun silam.

”Seminggu saat di sini, saya masih bermimpi dikejar lima orang pakai Bedog (golok-bahasa Sunda). Tapi sekarang Alhamdulillah, nggak ada lagi,” katanya memulai pembicaraannya bersama wartawan, Senin (3/8).

Rumah Nayati dan komplek Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten tersebut hanya berbatas tembok. Di komplek padat penduduk itulah, Nayati menggantungkan harapan hidupnya. Setiap harinya, dengan sepeda motor matic, Nayati berkeliling berjualan sayur mayur.

Saat ditemui wartawan, keranjang sayur lengkap dengan isinya masih teronggok di ruang tamu. Dari hasil berjualan itulah, ia dan keluarganya bisa bertahan. Nayati tinggal bersama Rafiuddin (38). Udin begitu Rafiuddin disapa, adalah suami ketiga Nayati.

Dari tiga suami tersebut, Nayati dikaruniai empat anak. Sementara dari Udin, Nayati melahirkan seorang putri yang lahir pada medio 2015 silam. ”Dia (sang putri) lahir di Tangerang, kami jarang atau malah tak pernah bicara kejadian (pembantaian) Cikeusik sama dia, biarlah dia hidup aman di sini,” ujar Nayati.

[caption id="attachment_476338" align="alignnone" width="696"] BERTAHAN HIDUP: Setelah terusir pasca penyerangan Cikeusik, Nayati harus berjualan sayur mayur untuk menghidupi keluarganya. Dengan menggunakan sepeda motor, ia berkeliling berjualan di Kelurahan Kenanga, Cipondoh, Kota Tangerang. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]

Nayati masih menahan getir saat menceritakan babak kelam hidupnya tersebut. Penyerangan ribuan warga anti Ahmadiyah kepada mereka tidak hanya meninggalkan luka yang dalam pada dirinya, tapi juga bagi keluarganya. Seruan takbir dan kilatan golok masih terekam jelas dalam benak ibu lima anak tersebut. ”Saya masih ingat ada yang teriak bahwa darah kami halal ditebas,” katanya.

Ya,  Peristiwa 6 Februari 2011 itu terjadi tepat dua hari setelah Nayati melangsungkan pernikahan dengan Rafiuddin. Pengantin baru itu harus dirundung dua musibah sekaligus. Terusir dari kampung halamannya dan merelakan tanah yang menjadi modal mereka hidup.

Nayati mendapati dirinya tak bisa pulang dengan bebas setelah sekitar 1,500 orang menyerang, menghancurkan rumah, dan membunuh tiga Ahmadi: Roni Pasaroni, Warsono dan Tubagus Chandra. Rumah Ismail Suparman, mubaligh Ahmadiyah Cikeusik, pusat kegiatan 25 Ahmadi di desa Umbulan, jadi sasaran kemarahan dan kebencian.

Suparman merupakan kakak kandung pertama Nayati. Para penyerang menyasar 20 Ahmadi, termasuk Nayati yang hanya bisa berteriak mempertahankan rumah tersebut. Nayati dan anggota jamaah Ahmadiyah lainnya lantas melarikan diri masuk ke rumah bapaknya. Untung, warga yang sedang marah tidak melanjutkan aksinya ke rumah itu. ”Ada takbir dalam kejadian itu, saya hanya mengelus dada, bagaimana asma Allah disebut saat kekejaman dilakukan,” ujarnya.

Sejak pembantaian berdarah itu, Nayati tidak bisa mengontak sang kakak. Ia juga kehilangan suaminya sementara. Beruntung, Rafiuddin akhirnya bisa selamat dan  menemuinya setelah seminggu bersembunyi di hutan.  Semua anggota keluarga Nayati langsung mengungsi dari tanah kelahirannya, malam setelah kejadian.

Dua bulan kemudian, ia lalu mengetahui bahwa sang kakak selamat dan sudah berada di Filipina Selatan, tempat Haina Toang Aquino, istri Suparman tinggal dan menetap di sana. ”Kami masih berkomunikasi dengan dia (Suparman) lewat Facebook, dia nggak mau ke sini, saya tahu itu dan ancaman bakal disembelih masih saya terima jika abang saya berani ke Cikeusik,” ujarnya.

Sebagian harapan Nayati untuk sudah terwujud, sebab putra sulungnya kini bekerja di Jepang setelah menamatkan pendidikan tahun 2017. Ia juga sudah mempunyai rumah di Gondrong, Tangerang, yang ia tempati sekarang dari kiriman sang anak.Pembangunannya juga dibantu dari hasil keringat Raffiudin yang bekerja serabutan sebagai tukang bangunan.

BAGI MEREKA, HARTA AHMADIYAH HALAL DIJARAH

Setelah kejadiaan nahas tersebut, semua keluarga Nayati yang berjumlah 13 orang diboyong ke Cipondoh. Sayang, relokasi hanya kepada pengungsi, sementara harta dan lahan tidak. Mereka membiarkan belasan hektar lahannya dibiarkan begitu saja.

Admin
Penulis