Sejauh ini penyalahgunaan bansos COVID-19 dengan tujuan politik telah terdeteksi di 11 provinsi. Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menyebuut 11 provinsi tersebut adalah Bengkulu, Riau, Sumatra Selatan, Jambi, dan Lampung. Selain itu Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
“Kemudian Gorontalo dan Papua,” ujarnya.
Lebih rinci lagi, Afif menyebut penyelewengan di tingkat provinsi terjadi di Bengkulu, Lampung, dan Gorontalo. Sedangkan penyelewengan di tingkat kabupaten/kota, terjadi di Kota Bengkulu, Indragiri Hilir, Palalawang, Ogan Ilir, dan tiga daerah di Jambi.
"Penyelewengan juga terjadi di Pasaweran, Bandar Lampung, Way Kanan, Lampung Selatan, Pandeglang, Pangandaran, Cianjur, Sumenep, Jember, Klaten, Semarang, Purbalingga, dan Keerom," katanya.
Afif menjelaskan ada empat modus politisasi bansos, yaitu pencantuman foto kepala daerah, pencantuman simbol partai politik, pemberian bansos dari APBD atas nama kepala daerah, dan korupsi dana penanganan corona.
"Pemanfaatan Bansos untuk sosialisasi pilkada bisa terjadi dan akan merusak pemilu jurdil," ujarnya.
Dikatakannya, politisasi bansos berpotensi melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, UU Nomor 27 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Korupsi.
Di sisi lain, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyebut penyaluran BLT Dana Desa telah mencapai 98 persen. Total 73.178 dari 74.877 desa yang sudah menerima Dana Desa telah menyalurkannya.
"Jadi sudah ada 73.178 desa yang telah merealisasikan BLT Dana Desa, setara dengan 98 persen. Alhamdulillah," katanya, Selasa (21/7).
Dia meyakini sangat berat untuk mencapai 100 persen. Sebab ada sekitar 61 desa yang mendata bahwa warganya tidak layak mendapatkan BLT Dana Desa, sehingga mereka tidak mengalokasikan Dana Desa untuk bantuan tersebut. dikatakannya, semua warga miskin di desa tersebut telah mendapatkan bantuan dari jaring pengaman sosial (JPS) lain, karena tidak ada warga miskin di desa itu, atau juga karena tidak ada yang terkena dampak COVID-19, sehingga mereka dinilai tidak layak mendapatkan BLT Dana Desa.
"Salah satunya karena ada desa yang warganya dinilai tidak layak menerima bantuan itu. Kita bangga dan bahagia karena itu berarti semua warga di desa itu sejahtera semua. Sehingga BLT Dana Desa tidak akan mencapai 100 persen," katanya.
Selain itu, tidak tercapainya penyaluran BLT Dana Desa hingga 100 persen itu juga disebabkan karena faktor budaya.
"Jadi ada yang karena budaya. Misalnya di Kabupaten Malang, itu ada desa yang warganya tidak mau Dana Desa digunakan untuk BLT karena warga masyarakat yang kaya itu mengcover warga masyarakat yang tidak mampu," katanya.
Nilai gotong rotong yang begitu kuat di desa itu mendorong warga yang kaya untuk bersama-sama membantu meringankan beban warga miskin yang terkena dampak COVID-19.
"Jadi nilai gotong royongnya sangat luar biasa. Itu ada di Kabupaten Malang," katanya.