Bentuk protes seperti itu tidak akan bisa dilakukan media online.
Dulu, di Indonesia, juga pernah terjadi. Di zaman Orde Baru. Ketika kebebasan pers sangat terkekang. Pers bisa diberedel. Pemerintah sering melarang pembuatan suatu berita. Kadang dengan kerdipan mata. Lebih sering lewat telepon.
Dering itu kadang baru berbunyi tengah malam. Ketika berita yang dimaksud sudah telanjur ditata di percetakan.
Sulit sekali.
Kalau harus diganti bisa gawat --akan telat terbit. Apalagi wartawannya juga sudah telanjur pulang.
Maka redaksi yang pemberani akan mencopot berita itu. Begitu saja. Untuk diganti blok hitam. Besoknya koran terbit seperti wajah cantik yang dicoreti arang di pipinya.
Pembaca pun mafhum: ada yang lagi disensor. Lalu kasak-kusuk. Masyarakat pun cari bocorannya: ada peristiwa apa? Bocoran itu lebih seru dari aslinya.