News . 17/05/2020, 06:33 WIB
JAKARTA - Perpres Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan berpotensi digugat atau (diuji materi) kembali ke Mahkamah Agung (MA). Semestinya iuran BPJS Kesehatan tak perlu dinaikkan jika merujuk pada kajian KPK.
Sejumlah rekomendasi KPK terkait persoalan BPJS Kesehatan ini di antaranya agar Kementerian Kesehatan menyusun Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) yang hingga Juli 2019 lalu, baru 32 PNPK dari target sejak 2015 sebanyak 80 PNPK. "Dalam kajian KPK ketiadaan mengakibatkan pengobatan yang tidak perlu (unnecessary treatment)," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Okky Asokawati di Jakarta, Sabtu (16/5).
Selain itu, rekomendasi KPK lainnya agar Kementerian Kesehatan memberi pilihan untuk pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik. Yakni penyakit akibat gaya hidup. KPK menyebutkan, jika terdapat pembatasan manfaat untuk jenis penyakit ini dapat mengurangi potensi pengobatan yang tidak perlu sebesar 5-10 persen. "Jadi, banyak opsi yang bisa dilakukan Kemenkes dan BPJS Kesehatan selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ini persoalan mau atau tidak," tandas politisi Partai NasDem ini.
Okky menilai keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres)?????? Nomor? 64 tahun 2020 tidak sepaham dengan spirit yang terkandung dalam pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 terdahulu.
Dia mengingatkan salah satu pertimbangan hakim MA dalam putusan atas pembatalan norma di Perpres 75/2019 karena terdapat kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga serta kemampuan warga negara yang tidak meningkat. Menurutnya, Perpres 64/2020 tersebut besar kemungkinan akan bernasib sama dengan Perpres 75/2019. Karena bermasalah dari sisi materiil peraturan perundang-undangan.
Materi yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020 secara substansial pun tidak jauh berbeda dengan Perpres 75 tahun 2019. "Secara substansial, materi Perpes 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perrpes 75/2019 yang telah dibatalkan MA. Jadi, besar kemungkinan Perpes 64/2020, jika digugat akan dibatalkan MA," papar Okky.
Perbedaan Perpres 64/2020 dengan Perpres 75/2020 hanya menunda kenaikan pembayaran. Khususnya di kelas III pada awal tahun 2021. Padahal, lanjut Okky, MA dalam putusannya membatalkan norma di Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 75/2019.
"Di Pasal 34 ayat (1) Perpres 64/2020 hakikatnya sama dengan norma yang dibatalkan oleh MA. Norma saat ini hanya menunda kenaikan kelas III hingga awal tahun 2021. Adapun kelas II dan kelas III hanya dikurangi Rp 10.000 dari rencana sesuai Perpres 75/2019 dan efektif pada awal Juli mendatang," ujar Ketua DPP NasDem bidang kesehatan itu.
Anggota Komisi IX DPR periode 2014-2019 itu menyebutkan, secara objektif, kondisi masyarakat saat ini semakin sulit akibat dampak pandemi COVID-19. Situasi tersebut, juga diamini pemerintah dengan program jaring pengaman sosial (social safety net). "Saat ini kondisi ekonomi masyarakat justru makin parah dibanding saat MA membatalkan Perpres 75/2019 pada 27 Februari 2020 lalu. Saat itu, Indonesia belum terdampak COVID-19," papar Okky.
Hal senada disampaikan pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid. Dia menilai secara yuridis, Perpres No. 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali ke MA.
Menurut Fahri, Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan nominal yang sedikit berbeda dari kenaikan iuran sebelumnya. MA sudah mengeluarkan putusan dalam merespon kebijakan Jokowi dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu.
Dalam perkara Hak Uji Materil Nomor : 7P/HUM/2020 itu diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Oleh Majelis Hakim MA, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu pada prinsipnya dinilai bertentangan dengan ketentuan norma pasal 23A, pasal 28H dan pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.
Selain norma konstitusional tersebut, Perpres tersebut juga dinilai bertentangan dengan ketentuan pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat (3) UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), serta ketentuan pasal 2, pasal 3, pasal 4 UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ketentuan pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 171 UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
"Dengan konsekuensi setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018," jelas Fahri Bachmid.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir meminta agar iuran BPJS Kesehatan tidak dinaikkan. Terutama untuk masyarakat yang kemampuan ekonominya rendah. "BPJS untuk rakyat tak mampu sebaiknya tidak dinaikkan. BPJS ini tidak akan merugikan negara. Karena BPJS merupakan investasi untuk mencetak kader baru bangsa Indonesia yang lebih tangguh guna menghadapi persaingan global ke depan," tegas Achmad Hafisz di Jakarta, Sabtu (16/5).
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com