Pelonggaran PSBB Membingungkan

fin.co.id - 14/05/2020, 02:34 WIB

Pelonggaran PSBB Membingungkan

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai justru akan memicu kesimpangsiuran di tengah masyarakat. Pemerintah diminta tegas menerapkan aturan agar dapat memutus rantai penyebaran COVID-19.

"Untuk itu, agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat maka MUI meminta ketegasan sikap pemerintah," kata Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas di Jakarta, Rabu (13/5). Dia menyoroti kebijakan baru yang dibuat pemerintah. Sseperti melonggarkan PSBB, pembukaan bandara serta dibolehkannya pengoperasian moda transportasi.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah itu, hingga saat ini belum jelas apakah penyebaran COVID-19 sudah terkendali atau belum. Pengendalian merupakan rujukan penting untuk mengambil kebijakan termasuk bagi MUI. Informasi pengendalian untuk menjelaskan dan menentukan sikap dan tindakan mana yang harus dilakukan. Termasuk soal fatwa.

"Dalam fatwa MUI No 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 dinyatakan soal terkendalinya wabah. Dalam poin empat bahwa dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan salat Jumat di kawasan tersebut. Sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Dzuhur di tempat masing-masing," imbuhnya.

Demikian juga, tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19. Seperti jamaah salat lima waktu/rawatib, salat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya. Selain itu, juga dilarang menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

"Keputusan pemerintah soal pengendalian COVID-19 sangat erat terkait dengan penerapan fatwa ibadah. Tetapi jika pemerintah menganggap kondisi sudah terkendali, maka dalam fatwa MUI dinyatakan bahwa umat Islam wajib menyelenggarakan salat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak," paparnya.

Sementara itu, anggota DPR RI Dedi Mulyadi menyatakan penanganan wabah Corona bisa dilakukan dengan berbasis kearifan lokal. Tidak harus dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). "Penanganan COVID-19 di setiap daerah tidak harus sama. Karena kultur daerah yang satu dengan lainnya berbeda," ujar Dedi, Rabu (13/5).

Ia setuju dengan pernyataan Ketua Gugus Tugas, Doni Munardo yang menyebutkan penanganan wabah Corona diserahkan ke kebijakan daerah masing-masing. Jadi penanganan Corona bisa dilakukan dengan berbasis kearifan lokal. Sebab, kultur antara kota dan daerah yang mayoritas perdesaan itu berbeda.

Menurut dia, kalau Gubernur DKI Jakarta bisa secara total menggerakkan seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan disekitarnya, karena kultur alamnya homogen. Di DKI Jakarta semua perangkat, dari mulai wali kota hingga lurah merupakan bawahan Gubernur. Sehingga gubernur mampu menggerakkan mereka untuk sama-sama menjalankan kebijakan tersebut.

Sementara di daerah, wali kota dan bupati merupakan kepemimpinan otonom. Sebab mereka dipilih langsung oleh rakyatnya masing-masing. Sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam penanganan Corona. Dedi mengatakan cara penanganan Corona tidak mesti harus dengan penerapan PSBB. Karena dengan PSBB banyak yang harus dikorbankan. "PSBB cocok diterapkan di perkotaan," ucap Dedi.

Di daerah, PSBB sebenarnya fokus pada seleksi ketat terhadap pendatang dari luar kota. Masyarakat di daerah harus dibentengi. Tetapi regulasi ekonomi tetap jalan. "Pendekatan kultur berbasis RT dan RW jadi standarisasi utama dalam menangani Corona. Sehingga rapid test dan swab test harus dilakukan secara massif. Alat tesnya harus ada di kecamatan. Ssehingga setiap hari orang di kampung diperiksa. Sedangkan orang dari luar dikunci dan jika ada diisolasi," tegasnya.

Mantan Bupati Purwakarta ini menyampaikan, dengan pendekatan kultur berbasis RT dan RW, balai desa, balai RW, gedung sekolah dan lainnya bisa jadi tempat isolasi terhadap orang luar yang masuk ke suatu daerah. "Saya itu ketemu setiap orang dari sopir angkot, dan pedagang. Ekonomi mereka anjlok. Sampai ada yang jadi pemulung. Kondisi itu karena salah kelola dan persepsi dalam penerapan PSBB," tutur Dedi.

Terpisah, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkoordinasi terkait penetapan pelonggaran atau relaksasi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Hal itu karena adanya kemungkinan relaksasi PSBB, apabila laju penambahan orang yang terinfeksi COVID-19 semakin melambat setiap harinya," kata Bamsoet di Jakarta, Rabu (13/5).

Dia menilai perlu kesepakatan dan komitmen bersama antara pemerintah pusat dan pemda dalam memutuskan pelonggaran PSBB. Bamsoet meminta agar pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan peraturan atau kebijakan terkait COVID-19 tidak saling tumpang tindih dan membingungkan masyarakat. "Selain itu, memfokuskan peraturan atau kebijakan yang ditetapkan untuk penanganan dan pencegahan COVID-19," jelasnya.

Politisi Partai Golkar itu juga meminta pemerintah bersama aparat tetap mengawasi masyarakat untuk mematuhi aturan PSBB yang berlaku di setiap daerah masing-masing. "Pemerintah dan aparat juga perlu melihat tingkat kepatuhan masyarakat dalam memahami dan melaksanakan protokol kesehatan sebagai salah satu bahan pertimbangan melonggarkan PSBB," paparnya.(rh/fin)

Admin
Penulis