JAKARTA - Muncul spekulasi terkait sebuah penelitian awal yang menyatakan, bahwa jenis ganja tertentu dari obat psikoaktif canabis atau marijuana dapat meningkatkan resistensi terhadap virus corona (Covid-19).
Profesor Ilmu Biologi di Universitas Lethbridge, Kanada mengatakan, bahwa diperkirakan bahwa beberapa jenis ganja, juga umum disebut cannabis atau marijuana, dapat mengurangi kemampuan virus untuk memasuki paru-paru, di mana ia bisa bertahan, bereproduksi, dan menyebar.
Kovalchuck dan rekannya menerbitkan makalah mereka tentang hal ini di preprints.org, sebuah laman jurnal ilmiah di mana para ilmuwan dapat mempublikasikan hasil penelitian mereka tanpa diperiksa oleh ahli.
Dalam makalah itu, mereka menuliskan bahwa jenis ganja yang mereka kembangkan secara khusus, mampu menghentikan virus memasuki tubuh manusia.
BACA JUGA: Update Situasi Covid-19 di Indonesia Senin, 11 Mei 2020
Penelitian ini adalah salah satu dari banyak makalah global yang telah dibagikan di situs web pracetak, termasuk preprints.org, dalam upaya menyebarluaskan temuan awal terkait pengobatan potensial dari COVID-19, yang belum melewati pemeriksaan ahli yang ketat.Menurut Kovalchuck, virus corona membutuhkan "reseptor” untuk memasuki sel inang pada manusia. Reseptor itu dikenal sebagai "angiotensin-converting enzyme II, atau ACE2. Sedangkan ACE2 sendiri ditemukan di jaringan paru-paru, di lendir mulut dan hidung, di ginjal, testis, dan saluran pencernaan.
"Teorinya adalah bahwa dengan memodifikasi level ACE2 pada "pintu masuk” ke sel inang manusia, maka dimungkinkan untuk menurunkan kerentanan terhadap virus. Hal ini pada dasarnya dapat mengurangi risiko infeksi," jelas Kovalchuck.
"Jika tidak ada ACE2 pada jaringan, virus tidak akan masuk," sambungnya
Beberapa ilmuwan di komunitas sains juga mengatakan, bahwa ganja medis dapat mengobati berbagai kondisi kesehatan, seperti mual dan demensia. Tapi perlu dicatat bahwa ganja medis tidak sama dengan apa yang Anda sebut dengan ganja rekreasional.
Ganja medis yang merupakan "varietas ganja kebun atau ganja umum”, atau juga ganja jalanan, dikenal karena kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) di dalamnya. Kandungan inilah yang merupakan agen psikoaktif utama di dalam obat tersebut.
BACA JUGA: PMI Daerah Aktif Lakukan Pencegahan Wabah Covid-19
Penelitian oleh Kovalchuck dan rekannya yang bermarkas di Alberta itu berfokus pada jenis tanaman, Cannabis sativa. Tanaman ini disebut memiliki kandungan cannabinoid anti-inflamasi yang tinggi, yang dikenal sebagai kanabidiol (CBD)."Ini adalah komponen kimia utama lain yang dapat ditemukan dalam ganja, selain THC," ujar Kovalchuck.
Kovalchuck mengatakan, bahwa para peneliti telah mengembangkan lebih dari 800 varian Cannabis sativa baru, dengan kadar CBD yang tinggi. Mereka juga mengindentifikasi 13 ekstrak yang menurut mereka mampu memodifikasi tingkat ACE2 pada "pintu masuk” virus di tubuh manusia.
"Varietas kami memiliki kandungan CBD yang tinggi, atau CBD/THC yang seimbang, karena Anda dapat memberikan dosis yang lebih tinggi dan orang tidak akan terganggu karena sifat psikoaktif THC," terang Kovalchuck.
Bersama dengan Dr. Darry Hudson, seorang lulusan PhD dari Universitas Guelph, Kovalchuck juga turut mengepalai sebuah perusahaan bernama Inplanta Biotechnology. Lembaga dari Kanada ini juga tengah meneliti penggunaan kanabinoid dalam pengobatan.
"Tetapi pendanaan untuk penelitian kanabinoid masih sulit. Dan ini juga terjadi di negara-negara lain, " ujar Kovalchuck.
Beberapa peneliti di Inggris mengatakan, itu terjadi karena mungkin ada kesalahpahaman antara masyarakat umum dan politisi tentang ganja medis. Ketakutan bahwa orang akan menjadi pecandu atau mencoba mengobati dirinya sendiri, menggunakan segala bentuk ganja yang mereka temukan.