JAKARTA - Kebijakan pemerintah membuka lagi transportasi umum untuk keperluan tertentu di tengah masa darurat pandemik virus Corona (COVID-19) dinilai telah membingungkan masyarakat. Kementerian Perhubungan diminta meninjau ulang kebijakan relaksasi atau pelonggaran transportasi umum tersebut.
"Karena kebijakan tersebut dapat bertentangan dengan regulasi pencegahan dan penanganan COVID-19 yang masih diterapkan saat ini. Sehingga berpotensi justru dapat memperpanjang masa pandemik Corona," ujar Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Jakarta, Jumat (8/5).
Kemenhub diminta mengedepankan orientasi aspek kesehatan dalam mengimplementasikan kebijakan. Tidak hanya untuk penyelamatan ekonomi saja. Dia mendorong Kemenhub untuk konsisten dalam memberlakukan sebuah kebijakan. Terutama yang berfokus pada pengendalian pandemik COVID-19.
Ia meminta Pemerintah Pusat dan Daerah berkomitmen mengawasi pergerakan transportasi mudik agar tetap berada dalam pemantauan. "Sesuai dengan protokol COVID-19 bahwa mudik tetap tidak dilakukan, sebagaimana disampaikan ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19," papar mantan Ketua DPR RI itu.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi. Dia menilai langkah pemerintah yang berencana melonggarkan perjalanan ataupun transportasi udara, laut, dan udara, membuat pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah tidak maksimal.
Menurut dia, pernyataan Menteri Perhubungan soal tidak ada perubahan aturan, namun hanya penjabaran aturan, dinilai hanya retorika belaka. Sebab substansinya sama. Yaitu perjalanan orang diperbolehkan. "Pelaksanaan yang berubah-ubah tersebut membuat masyarakat bingung dan terkesan ketidaktegasan dalam menerapkan sejumlah aturan," jelas Baidowi di Jakarta, Jumat (8/5).
Menurut dia, jika alasannya untuk pebisnis atau pejabat, seberapa banyak jumlah mereka. Dia menyaranklan bisa dibuat kluster perjalanan pada waktu-waktu tertentu. Sehingga tidak dibebaskan waktunya seperti sekarang.
"Mengingat pengalaman yang terjadi di lapangan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk aktif melapor terkait COVID-19 akan menyulitkan deteksi penyebaran. Dengan adanya kelonggaran akses transportasi ini, harus diwaspadai gelombang II penyebaran COVID-19. Jika ini terjadi, Pemerintah yang paling disalahkan," paparnya.
Wakil Sekjen DPP PPP itu menilai dengan kembalinya mobilitas warga dari satu kota ke kota lain membuat imbauan jaga jarak atau physical distancing maupun social distancing menjadi tidak terlalu bermakna. "Kalaupun ada pemeriksaan kesehatan bagi penumpang sebelum berangkat, bukankah masa inkubasi COVID-19 selama 14 hari. Mengingat kejadian pertama kali masuknya virus tersebut ke Indonesia dari seorang WNA yang sama sekali tidak terdeteksi di bandara. Ini harus menjadi pembelajaran. Terlebih perjalanan darat yang kontrol pemeriksaannya sedikit longgar," pungkasnya.(rh/fin)