Nelayan Mulai Terlilit Utang

fin.co.id - 08/05/2020, 15:15 WIB

Nelayan Mulai Terlilit Utang

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

CARINGIN – Nelayan di Kabupaten Garut mengeluhkan kesulitan menjual ikan hasil tangkapannya. Itu karena para bakul atau pengepul enggan membeli karena sulit mendistribusikan ikan ke pusat kota akibat pandemi Covid-19.

“Sekarang yang bisa dijual itu hanya ikan layur saja. Kalau jenis lain tak laku dijual,” ujar Ketua Nelayan Rancabuaya Kecamatan Caringin Asep Hidayat saat dihubungi wartawan Kamis (7/5).

Asep menerangkan para pengepul tidak mau menerima ikan selain layur, karena sulit dijual kembali. Biasanya, sebelum adanya pandemi Covid-19, ikan-ikan seperti kerapu, tongkol atau tenggiri bisa untuk komoditas ekspor. “Sekarang bakul di Jakarta, Pelabuhan Ratu dan Pangandaran hanya menerima ikan layur saja. Jadi Kayak kerapu atau tongkol jadi ikan konsumsi nelayan saja,” terangnya.

Menurut dia, harga jual ikan layur per kilogramnya berada di kisaran Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu. Rata-rata para nelayan bisa menangkap ikan layur 30 sampai 90 kilogram. Namun ada juga nelayan yang membawa tangan kosong sepulang melaut. “Sekarang nelayan cuma mengandalkan dari layur untuk dapat penghasilan. Itu juga kalau dapat,” ujarnya.

Sulitnya menjual ikan sudah terjadi sejak Maret. Padahal ongkos operasional untuk melaut terus dikeluarkan. Sedangkan pemasukan tidak sesuai dengan pengeluaran untuk melaut.

“Dari layur paling bagus dapat uang Rp 3 juta. Tapi harus bagi-bagi sama beberapa orang. Kayak anak buah kapal, terus bayar BBM ke tengkulaknya. Paling bagus itu bawa Rp 500 ribu sekali melaut ke rumahnya,” katanya.

Kondisi itu membuat para nelayan di Rancabuaya memiliki hutang cukup besar. Uang pinjaman itu digunakan nelayan untuk ongkos operasional melaut. “Kayak untuk beli BBM biasanya pinjam dulu ke tengkulak. Kalau nggak seperti itu, mereka nggak bisa melaut. Jadi harus punya modal dulu,” ujarnya.

Selama masa pandemi Covid-19, para nelayan memiliki hutang yang beragam. Mulai dari paling kecil sekitar Rp 10 juta sampai Rp 15 juta dan terbesar Rp 50 juta sampai Rp 70 juta. Uang pinjaman itu sulit dikembalikan dalam waktu cepat dalam kondisi seperti saat ini. “Untungnya tengkulak mengerti dan nggak menagih kayak hari biasa. Dibayarnya nanti kalau sudah normal lagi. Sekarang mau bayarnya saja susah, ikan saja nggak laku dijual,” katanya.

Jumlah perahu yang melaut, lanjutnya, juga ikut dibatasi. Jika biasanya ada 150 sampai 200 perahu yang melaut, saat ini hanya ada 30 sampai 50 perahu. Pembatasan dilakukan agar para nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan yang lebih maksimal. “Tak semua nelayan punya bos. Kalau yang modal sendiri, sudah tak punya uang buat beli BBM, ya tidak melaut. Kalau yang punya bos berhutang untuk melaut,” ucapnya.

Para nelayan juga tak mendapat bantuan dari pemerintah, semisal subsidi untuk bahan bakar. Meski begitu, Asep menyebut nelayan tak terlalu banyak mengeluh karena sudah terbiasa dengan kondisi sulit. “Nelayan juga mengerti kalau soal bantuan. Hutang banyak, jual ikan susah sudah jadi tanggungan sendiri. Padahal nelayan salah satu yang kena dampaknya. Pasrah saja,” ujarnya.

Sampai saat ini, para nelayan masih terus bertahan dan tak beralih profesi. Jika tak mendapat ikan, biasanya mereka beristirahat dua sampai tiga hari. Seperti hari ini (kemarin), Asep menyebut tak ada nelayan yang melaut karena cuaca yang buruk.

“Untuk makan tidak susah karena masih ada dari tangkapan ikan. Ke bakul-bakul juga minta perhatiannya untuk nelayan, minimal makannya. Hal wajar saat ini, tak bisa beli beras apa salahnya konsumsi ikan. Tapi alhamdulillah belum ada yang sampai kelaparan,” paparnya. (yna)

Admin
Penulis