"Seharusnya pemerintah malah memperketat PSBB dengan aturan di bawahnya karena regulasi PSBB tidak ada sanksi tegas, bersifat imbauan, sehingga tidak efektif. Jika pun ada masyarakat yang stres, bukan karena PSBB, tetapi karena biaya hidupnya selama dibatasi tidak dijamin oleh negara," imbuhnya.
Sementara juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, menilai kebijakan relaksasi PSBB adalah wewenang pemerintah daerah (pemda).
"Pemerintah pusat hanya buat kebijakan global, sudah diatur apa yang boleh, apa yang dilarang, apa yang dibatasi, detail operasionalnya itu diatur di Perda tentang jam berapa toko buka, jam berapa toko tutup, itu perda yang bikin," katanya.
Demikian juga terkait relaksasi. Kebijakan relaksasi adalah kewenangan daerah.
"Itu (pelonggaran) pemda yang bikin, yang dilonggarkan kan itu, jam berapa toko buka, jam berapa toko tutup. Itu kan perda yang atur bukan global," terangnya.
Dia juga menegaskan, kewenangan pelonggaran atau diperketatnya PSBB bukan kewenangan Kemenko Polhukam.
"PSBB itu kan nggak ada kaitannya sama Polhukam sebenarnya, justru operasionalnya di daerahnya yang silakan kebijakan Pemda masing-masing," jelasnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah tengah memikirkan relaksasi PSBB. Pelonggaran untuk aturan tersebut disiapkan untuk mencegah masyarakat stres karena merasa terlalu dikekang.
"Kita sudah sedang memikirkan apa yang disebut relaksasi PSBB nanti akan diadakan sedang dipikirkan pelonggaran-pelonggaran," jelas Mahfud melalui siaran langsung Instagram-nya, Sabtu (2/5) malam.
Ia mencontohkan pelonggaran itu soal aktivitas yang dapat dilakukan dengan protokol tertentu selama PSBB. Menurutnya, hal tersebut dipikirkan oleh pemerintah karena pemerintah tahu kalau masyarakat dikekang maka akan timbul stress yang berujung pada menurunnya imun mereka.(gw/fin)