Menurut Ferdiansyah, selain empat poin tersebut cetak biru juga mesti memperhatikan dasar hukum yang ada dalam 18 perundang-undangan di sektor pendidikan.
"Mulai dari undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), guru dan dosen, bahkan pertahanan negara. Agar kita benar-benar bisa mengejar visi misi Presiden untuk Indonesia unggul, UU ini kan sebagai pondasi," jelasnya.
Untuk itu, Ferdiansyah berharap, cetak biru ini bisa selesai dalam enam bulan ke depan, sesuai dengan janji Mendikbud Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Ia percaya kepada Nadiem bisa menyelesaikan itu, meski saat ini Indonesia tengah mengalami masa darurat covid-19.
"Di era mas Nadiem semoga bisa terwujud cetak biru ini. Apalagi didukung para milenial cerdas dan tangguh saya yakin bisa mewujudkan itu," ujarnya.
"Saya juga meminta kepada Nadiem, tak segan berkonsultasi dengan banyak pihak termasuk DPR. Hal ini diperlukan, karena cetak biru pendidikan dapat dipakai dalam jangka waktu yang panjang," sambungnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Ahmad Rizali menilai, bahwa tujuan pendidikan Indonesia masih sangat normatif. Menurutnya, pendidikan Indonesia harus memiliki cetak biru yang lebih teperinci.
"Tujuan pendidikan masih sangat normatif, tidak terukur, dan relevansinya juga rendah," kata Ahmad.
Terlebih lagi, kata Ahmad, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ada saat ini pun belum cukup jelas. Sebenarnya, jika RPJMN telah baik, maka Indonesia sudah memiliki modal awal yang bagus untuk memiliki cetak biru pendidikan.
"Kalau RPJMN cukup jelas, itu bisa disebut blue print juga. Tapi kan sekarang belum bisa begitu," terangnya.
Ahmad menambahkan, cetak biru ini merupakan akses awal bagi Indonesia mencapai target mutu pendidikan untuk membuat tata kelola pendidikan yang baik juga bisa digapai.
"Ini kan bagian cita-cita kita juga untuk sumber daya manusia yang unggul. Seperti visi misi bapak Presiden," pungkasnya. (der/fin)