JAKARTA - Gerakan #GerakanSocialDistancing yang sudah menggema di sejumlah laman media sosial. Bahkan hingga pukul 14.30 WIB, bertahan menjadi tranding topik.
Sanyangnya kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi yang ada. Di Jakarta misalnya, setelah adanya pembatasan jam operasional MRT, LRT dan Transjakarta, muncul antrean panjang. Dan membuat orang berkumpul menunggu angkutan angkutan umum.
”Terima kasih Pak Gubernur, karena kebijakan keren bapak dgn membatasi jam operasional MRT, LRT dan Transjakarta #GerakanSocialDistancing bapak sukses membuat org berkumpul menunggu angkutan umum. Saya cuma bisa kirim doa, semoga semuanya sehat2,” cuit akun @dwiyanaDKM dilaman twitter seraya menyertakan vidio antrean.
Sementara akun @jr_kw19 lebih menyoroti kondisi Jakarta saat ini. Ia pun menyertakan vidio pendek tentang antrean panjang. ”Ambyaaaar ... Tertawa berguling di lantaiTertawa berguling di lantai. Pencitraan berakhir antrian. bluder lagi blunder lagi. Gimana kerja gabener ini,” twittnya.
Meski demikian tidak sedikit yang memberikan support terhadap #GerakanSocialDistancing juga mendapat dukungan dari banyak pengguna laman media sosial ini. ”Yuk dukung #GerakanSocialDistancing untuk melindungi diri kita dari penyebaran virus Corona,” twitt akun @Luluk414.
Meski banyak dukungan sikap kritis pun disampaikan mayoritas Nitizen terhadap #GerakanSocialDistancing. ”Di rumah salah..Keluar rumah salah juga...Kerja salahhh...Ga kerja ga makan..Mau jaga jarak....takut di samber Bus nya pak Gaberner,” timpal akun @Romesi8.
Terkait kondisi ini, Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Jakarta Raya menyarankan Pemerintah Provinsi DKI mengevaluasi kebijakan pembatasan transportasi publik untuk antisipasi penyebaran virus corona (COVID-19) yang menimbulkan dampak signifikan pada antrean penumpang sejak diberlakukan Senin (16/3).
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho mengatakan, tim Ombudsman Jakarta Raya telah melakukan pemantauan di sejumlah Halte TransJakarta dan Stasiun MRT maupun Kereta Api Listrik (KRL).
Pantauan dilakukan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Halte TransJakarta Ragunan, Halte Setiabudi dan Stasiun KRL Tanggerang. "Hasil pantauan di lapangan memang ada penumpukan yang luar biasa di sana," kata Teguh.
Teguh menilai, kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengurangi frekuensi transportasi publik sebagai kebijakan yang salah. Seharusnya, lanjut dia, dalam situasi saat ini justru frekwensi transportasi publik diperbanyak untuk mengurangi penumpukan orang dalam satu tempat dan satu waktu.
"Dikhawatirkan ketika Transjakarta memberlakukan pengukuran suhu tubuh setiap stasiun, maka antrean orang dalam satu tempat dan satu waktu akan lebih banyak lagi," kata Teguh. (ful)