JAKARTA – Polemik BPJS akan terus berlanjut jika tidak ada sikap tegas dari pemerintah. Pada posisi ini, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan presiden untuk menggantikan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
”Perpres pengganti itu penting untuk menjamin kepastian hukum karena BPJS Kesehatan menyatakan akan tetap menggunakan Perpres yang lama bila pemerintah belum mengubah atau mengeluarkan perpres baru," kata Tulus melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (13/3).
Tulus mengatakan putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tidak serta merta bisa membuat BPJS Kesehatan tidak menaikkan iuran peserta. Dengan kata lain, kenaikan iuran tetap akan diberlakukan oleh BPJS Kesehatan. Karena itu, agar tidak menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan dan berdampak pada pelayanan kepada pasien, pemerintah harus cepat segera menindaklanjuti putusan MA tersebut.
BACA JUGA: Digosipkan Pacari Ayu Ting Ting, Didi Riyadi Bilang Begini
Tulus khawatir putusan MA itu akan membuat BPJS Kesehatan mengurangi layanan kepada pasien bila tidak ada tindak lanjut yang segera dari pemerintah. ”YLKI khawatir pembatalan itu berdampak terhadap reduksi pelayanan kepada pasien. Kalau yang direduksi hanya layanan nonmedis, masih lebih baik. Kalau yang direduksi layanan medis, bisa membahayakan pasien," tuturnya.MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020. Permohonan uji materi diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. Mereka meminta MA membatalkan kenaikan iuran tersebut.
Majelis hakim MA menyatakan Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Sementara MA sendiri menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk menambal defisit badan itu di luar konteks putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran. ”Lho Itu kan argumentasi dari BPJS Kesehatan, saya rasa itu di luar konteks putusan uji materi ini. Silakan untuk semua pihak mengkritisi, kami tidak akan memberikan komentar apa pun,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah.
Dalam memutus uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu, majelis hakim memiliki pertimbangan prinsip keadilan. Penerbitan peraturan itu dinilai tidak mempertimbangkan kemampuan dan beban hidup layak yang ditanggung oleh masyarakat.
BACA JUGA: Liga Champions: Liverpool Out
Abdullah mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyebabkan meningkatkan beban hidup seharusnya tidak dilakukan saat kemampuan masyarakat tidak meningkat. ”Bahkan tanpa diimbangi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS,” tutur dia.Pertimbangan berikutnya, MA menilai negara sebagai pemegang kebijakan semestinya bertindak lebih bijak saat anggaran kesehatan mendapat porsi besar. Majelis hakim berpendapat jaminan kesehatan yang masuk hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita pendiri Tanah Air seperti termaktub dalam UUD NRI 1945.
”Kesehatan sebagai HAM harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat," pungkas Abdullah. (tim/fin/ful)