Terpisah, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun meminta agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencari solusi pendanaan bagi BPJS Kesehatan. Sebagai bukti kehadiran negara pada rakyat.
"Ini menyangkut masalah kemanusiaan yang paling mendasar, mengenai orang sakit. Orang sakit ini kan tidak mengenal status sosial. Yang penting dia sakit dan itu adalah sebuah alasan sehingga negara harus hadir," ujarnya.
Pemerintah harus bisa mendapatkan solusi bagi BPJS Kesehatan di tengah keterbatasan ruang fiskal. Dia menyarankan pemerintah menggenjot penerimaan negara. Dia juga meminta Sri Mulyani menekan beban pembayaran bunga utang.
"Apabila penerimaan pajak optimal, kemudian beban biaya bunga utang bisa diperkecil, kita akan memiliki kemampuan membayar jaminan sosial rakyat. Kita dituntut bertanggung jawab secara keseluruhan, kita tidak hanya bicara soal bagaimana membelanjakan (dana APBN), tetapi juga bagaimana mengoptimalkan penerimaan negara," ujar dia.
Pemerintah tetap dengan keputusan penyesuaian yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keputusan penyesuaian iuran sudah memperhitungkan usulan DPR terkait pembersihan data. Prosesnya sudah dilakukan oleh Kementerian Sosial, walaupun belum selesai.
"Tidak masalah kita melakukan itu (batalkan Perpres 75/2019). Kalau bapak-bapak (anggota DPR) minta dibatalkan. Artinya Kementerian Keuangan yang sudah transfer Rp13,5 triliun pada 2019 lalu, saya tarik kembali," tegas Ani, Selasa (18/2).
Sedangkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan kenaikan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Sehingga jika memang akan ada perubahan, harus sesuai dengan persetujuan presiden.
"BPJS Kesehatan sesuai UU nomor 30 tahun 2014 harus meminta persetujuan langsung, dalam hal ini Presiden karena ada potensi untuk mengubah anggaran," kata Fahmi.(gw/fin)