Petinggi Sunda Empire Dijerat Pasal Berlapis

fin.co.id - 01/02/2020, 04:35 WIB

Petinggi Sunda Empire Dijerat Pasal Berlapis

JAKARTA - Tiga tersangka kelompok Sunda Empire dijerat ancaman hukuman 10 tahun penjara atas upaya penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran. Ketiga tersangka yakni Nasri Banks, Rd Ratna Ningrum, dan Ki Ageng Rangga.

Atas perbuatannya, ketiga petinggi Sunda Empire itu dijerat pasal berlapis dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong dan menyiarkan kabar yang tidak pasti.

Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol, Asep Adi Saputra menjelaskan, ketiga tersangka telah ditahan polisi sejak Kamis (30/1) untuk menjalani proses penyidikan. ”Kan sudah ditahan, yang perlu disosialisasikan dalam kasus ini kepada tiga tersangka ini dalam konstruksi hukum penerapan Pasal 14 dan 15 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara,” terangnya, kemarin.

Pada bagian pokok Pasal 14 KUHP menyebutkan pelaku penyiaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran diancam hukuman sepuluh tahun penjara. ”Sebab apa yang disampaikan para tersangka kepada publik sudah dipastikan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, demikian di pasal 15 KUHP," katanya.

Asep mengatakan penyidik menerapkan pasal tersebut karena sudah dilakukan pendalaman kasus secara komprehensif dengan melibatkan ahli bahasa hingga sosial budaya. ”Sehingga penentuan tersangka sudah berbagai pertimbangan dan diskusi,” katanya.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Suhartiyono menambahkan kelompok Sunda Empire memiliki anggota dengan jumlah sekitar 1.000 orang. ”Jumlah anggotanya secara pasti kita belum tahu, mungkin kurang lebih sekitar 1.000 anggota, sampai saat ini penyidik masih dalam pemeriksaan,” terang Hendra.

Sementara ini, Hendra menyebut Sunda Empire tidak memiliki modus serupa dengan Keraton Agung Sejagat yang memungut iuran anggotanya dengan iming-iming kekayaan.”Dari saksi dan dari tersangka tidak ada pungutan (iuran), ini kita masih dalami,” ujar Hendra. Nah, berdasarkan keterangan tersangka, kata dia, Sunda Empire ini tidak memiliki markas, singgasana, maupun tempat rapat seperti fenomena yang terjadi di Keraton Agung Sejagat, Purworejo.

Terpisa pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio, mengatakan kemunculan romantisme sejarah kejayaan masa lalu berupa seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire dan lainnya berpotensi memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.

”Ya walaupun bentuknya sistem pemerintahan alternatif dan kelihatannya seperti dagelan, tapi fenomena ini bisa menjadi alat baca barangkali tak sedikit masyarakat yang muak dengan politik pemerintahan hari ini. Apalagi diperparah dengan situasi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi,” kata Hendri.

Menurut Hendri, hal-hal seperti itu sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya juga pernah muncul kerajaan-kerajaan imajinatif dan tak sedikit masyarakat yang percaya dengan imajinasi kejayaan masa lalu. Contohnya, seperti SwissIndo yang bisa melunasi hutang Indonesia dan masyarakat, atau harta karun peninggalan masa lalu. Pada 2002 lalu, Menteri Agama Republik Indonesia bahkan menggali Istana Batu Tulis untuk mendapatkan harta karun. Ada juga Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, bahkan Kerajaan Lia Eden yang sempat gempar dengan membawa isu agama.

”Saya pikir ada dua hal yang memang menjadi pemicu maraknya narasi semacam ini. Pertama kondisi ekonomi dan sosial yang makin rumit bagi masyarakat, mereka butuh alternatif. Kedua literasi sains kita begitu rendah,” ungkap Hendri.

Selain itu, lanjut Hendri, gejala kerinduan kejayaan masa lalu dengan kembali ke identitas primordial seperti suku, kerajaan yang pernah jaya, bahkan seperti white supremacy di Amerika, supremasi Hindu di India, oleh karena reaksi kekecewaan masyarakat terhadap modernisasi dan globalisasi yang tak kunjung menyejahterakan.

Founder lembaga survei KedaiKOPI itu menegaskan, perlu menggarisbawahi terkait literasi sains dan nalar kritis masyarakat sebab sejak beberapa tahun lalu bahkan hingga sekarang, masih banyak orang percaya teori bumi datar atau konspirasi lain. Menurut dia, fenomena belakangan ini landasannya mirip dengan yang terjadi beberapa tahun lalu, yaitu memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengkonfirmasi suatu narasi dengan landasan sains.

”Bila flat earth terkait fisika dan astronomi, maka kesultanan dan segala kerajaan itu terkait dengan disiplin ilmu sejarah. Sejarawan-sejarawan kita mesti berbicara dan mengkonfirmasi dagelan ini,” kata Hendri.

Mental atau psikologisme masyarakat itu hanyalah sebuah bentuk gejala, justru hal yang perlu dilihat adalah situasi dan kondisi seperti apa yang membuat masyarakat bisa mempercayai itu. Hendri memandang, kondisi tersebut tercipta karena fatalisme yang berkombinasi dengan nostalgia, hal itu membuat masyarakat benar-benar muak dengan situasi yang mereka hadapi hari ini seperti kondisi sosial, ekonomi, dan seterusnya.

Admin
Penulis