Terungkap, 3 Hal yang Disebut 'Killing Factor' Industri Penunjang Migas Dalam Negeri

Terungkap, 3 Hal yang Disebut 'Killing Factor' Industri Penunjang Migas Dalam Negeri

Para pengurus Guspenmigas: (Dari kiri ke kanan) Kamaludin Hasyim, Didie Tedjosumirat, Rudiyanto dan Willem Siahaya.-Sigit Nugroho-

JAKARTA, FIN.CO.ID - Ada tiga hal yang sangat krusial terkait pengembangan industri penunjang dan industri utama migas di Indonesia. 

Hal itu diungkapkan oleh Pembina Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Guspenmigas) Willem Siahaya, dikutip Rabu 27 April 2022. 

(BACA JUGA:Soal Penguatan Lokal Konten di Sektor Migas, Guspenmigas: Semakin Sering Jokowi Marah Itu Bagus)

Menurut Willem, sekeras apapun pemerintah memperjuangkan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) atau penggunaan local conten untuk Industri migas, ada tiga faktor utama yang sangat krusial. 

Willem menyebut tiga faktor utama ini sebagai "Killing Factor", berkembang atau tidaknya industri penunjang migas di Indonesia.

"Itu adalah 3 kunci saja yang kita sebut QCD, Quality, Cost dan Delivery time," ungkap Willem menjawab pertanyaan Fin.co.id terkait political will penggunaan produksi dalam negeri di sektor migas. 

Willem menjelaskan, terkait dengan Quality, Indonesia sebenarnya sudah punya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang kemudian ada turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018.

(BACA JUGA:Menko Airlangga Pastikan, Larangan Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng Bakal 'Dipelototi' Secara Ketat)

"Disitu sudah jelas bahwa harus pakai produksi dalam negeri. Kalau kita konsekuen, kita itu semua, baik pemerintah maupun pengusaha ini bahwa kalau kita sudah punya, itu kita harus pakai. Ada negara itu gak mau pakai TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) atau apapun, pokoknya kalau sudah produksi tidak boleh masuk," jelasnya.

Kembali ke masalah Quality, lanjut Willem, seluruh pihak harus konsekuen bahwa jika produksi di dalam negeri tersedia, maka semua pihak harus mematuhi yakni tidak perlu impor. 

"Kita harus sepakat bahwa kalau produksi dalam negeri sudah ada dan memenuhi standar minimum, harus dipakai. Jadi jangan kualitasnya ditambah-tambahin. Misal yang kita mampu buat 5 meter dia minta 5,5 meter, dalam negeri mampu pressure nya 3.000 Psi, dibikin jadi 3.500 Psi. Ini killing factor," ungkapnya.

Kemudian faktor kedua yaitu cost atau biaya. Willem mengungkap penyebab produksi dalam negeri "sedikit" lebih mahal antara lain adalah banyaknya kewajiban biaya yang harus dipenuhi produsen. 

(BACA JUGA:Sering 'Paksa' Jamaah Untuk Sedekah, Ternyata Uangnya Oleh Ustaz Yusuf Mansur Digunakan Buat Ini)

"Kenapa mahal? kalau kita evaluasi itu kewajiban dalam negeri besar sekali. Itu tidak dipunyai produk impor. Coba kalau masukkan, kita pernah evaluasi itu ada 45 persen kewajiban dalam negeri, impor gak punya sama sekali. Untuk Equal, harusnya sama dong, dia (impor) bebas (kewajiban) ya kita (dalam negeri) bebas (kewajiban) juga dong," tegasnya.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Sigit Nugroho

Tentang Penulis

Sumber: