Kebijakan Merdeka Belajar Bikin Rancu

Kebijakan Merdeka Belajar Bikin Rancu

JAKARTA - Kebijakan terbaru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait Merdeka Belajar dinilai akan membuat rancu jalur pendidikan tinggi. "Kebijakan ini memang baru pada tingkat wacana, belum ada payung hukumnya. Jika kemudian diimplementasikan akan ada kerancuan jalur yang ada di pendidikan tinggi," kata Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN), Jamal Wiwoho, Selasa (28/1). Jamal menjelaskan, berdasarkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, terdapat tiga jalur pendidikan tinggi yakni keilmuan, vokasi, dan terapan. Di mana, masing-masing dari keilmuan tersebut memiliki porsi yang berbeda. "Vokasi sekitar 70 persen praktik, dan 30 persen teori, maka jalur keilmuan sebaliknya yakni 30 persen praktik dan 70 persen teori. Dengan adanya kebijakan Kampus Merdeka ini, tentunya mengubah konstelasi yang berkaitan dengan dua jalur tersebut," jelasnya. Dengan demikian, Jamal meminta agar Mendikbud, Nadiem Makarim segera mengeluarkan regulasi yang mengatur penerapan kebijakan Kampus Merdeka tersebut. "Harus segera ada payung hukum dari kebijakan. Entah apa itu dalam bentuk peraturan menteri atau lainnya. Jika sudah ada regulasi yang mengatur hal itu, kami siap menjalankan kebijakan Kampus Merdeka tersebut," tegasnya. Selain itu, Jamal juga menyebutkan akan ada perancangan ulang kurikulum di pendidikan tinggi karena adanya magang sukarela selama tiga semester. Hal itu dikarenakan dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama satu setengah bulan saja, cukup berat untuk merancangnya. "Kami belum tahu nanti seperti apa, apa nanti diselipkan di tiap semester. Misalnya semester satu teori, semester dua magang, dan begitu seterusnya sampai tiga semester, atau magang pada akhir perkuliahan," terangnya. Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bidang Kerjasama dan Internasional, Achmad Nurmandi menilai, ada empat poin kebijakan Merdeka Belajar yang kurang matang untuk diterapkan saat ini. Empat poin tersebut yakni pembukaan program studi (prodi) baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri badan hukum dan hak belajar tiga semester di luar program studi. "Untuk membuka prodi baru harus dengan pertimbangan yang matang. Apakah nantinya prodi tersebut berkualitas baik atau tidak. Mungkin bagi universitas baru membuka prodi merupakan peluang yang besar untuk menjaring mahasiswa baru masuk," katanya. Pada poin kedua, kata Nurmandi, pihaknya tidak merasa keberatan terkait dilakukannya re-akreditasi setiap lima tahun sekali. Hal ini menurutnya meninjau kualitas program studi. "Kebijakan tersebut juga memudahkan perguruan tinggi dalam mengajukan akreditasi yang dapat dilakukan kapan pun. Sehingga, poin kedua ini menurutnya tidak masalah," ujarnya. Kebijakan lainnya yang juga dinilai kurang matang yakni poin ketiga terkait perguruan tinggi negeri badan hukum. Nurmandi menegaskan, bahwa Mendikbud belum begitu paham terkait hal ini. "Hanya terlalu berfokus pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saja. Kebijakan ini perlu ditindaklanjuti lebih dalam lagi agar PTN maupun PTS mendapatkan hak yang sama," ucapnya Adapun kebijakan di poin keempat, ia pun menanggapinya dengan baik. Sebab, UMY sendiri telah menerapkan program itu seperti memberikan mata kuliah pilihan di luar program studi, magang, pengabdian masyarakat dan pertukaran pelajar. "UMY juga membebaskan mahasiswanya untuk mengambil bobot Satuan Kredit Semester (SKS) dengan minimal bobot sesuai dengan kebijakan prodi masing-masing agar memberikan kebebasan mahasiswanya untuk mengikuti program kampus lain," tuturnya. Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko menilai, secara umum kebijakan yang disampaikan Kemendikbud sudah baik. Khususnya soal menyederhanakan administrasi untuk akreditasi. Namun, menurut Budi kebijakan Kampus Merdeka masih belum membumi. Artinya, banyak kebijakan yang harus bekerja sama dengan industri, sementara belum tentu pihak dunia usaha mau bekerja sama dengan perguruan tinggi. Ia menjelaskan, berdasarkan pengalamannya, beberapa lembaga pendidikan di bawah Aptisi sudah menerapkan program magang. Ada yang sudah menerapkan tiga tahun di kampus dan tiga tahun di industri. Hal tersebut, kata Budi cukup sulit untuk dilakukan. "Sulit diterima karena mereka (industri) juga terbatas. Industri mestinya diberikan pengurangan pajak sehingga dia mau membuka diri menerima mahasiswa untuk praktik. Kalau tidak ada paksaan mereka juga cuek-cuek saja," katanya. Sebelumnya, Nadiem Makarim meluncurkan program Kampus Merdeka, yang merupakan lanjutan dari kebijakan Merdeka Belajar. Terdapat empat poin kebijakan tersebut yakni otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Kemudian program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Akreditasi yang ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama lima tahun namun akan diperbaharui secara otomatis. Selanjutnya, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), dan magang sukarela bagi mahasiswa hingga tiga semester. (der/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: