Jangan Kurangi Operasional Transportasi Publik

Jangan Kurangi Operasional Transportasi Publik

JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI mengevaluasi kebijakan pembatasan transportasi publik untuk antisipasi penyebaran virus corona (COVID-19). Akibat kebijakan tersebut timbul antrean panjang penumpang di sejumlah halte pemberhentian kendaraan umum. Mulai Senin (16/3), Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan pembatasan jam operasional angkutan umum dan jumlah penumpang yang diangkutnya. Mengetahui dampak yang diakibatkan banyak merugikan masyarakat, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menarik kebijakan tersebut dan mengembalikan seluruh operasional transportasi publik seperti semula. "Transportasi umum akan kembali dengan tinggi jadwal dan jumlahnya," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Senin Senin (16/3) malam.

BACA JUGA: Ridwan Kamil Jalani Tes Potensi Keterpaparan Corona, Hasilnya…

Namun, Anies menegaskan pembatasan jumlah penumpang per bus (Transjakarta) dan per kereta (MRT dan LRT) serta batasan jumlah antrean di halte dan stasiun tetap diberlakukan. Antrean panjang menurutnya sebagai dampak, namun akan mengurrangi risiko penularan. "Konsekuensinya penumpukan di luar halte dan stasiun, namun itu mengurangi tingkat risiko penularan di ruang tertutup. Karenanya pembatasan jumlah penumpang per bus dan kereta penting terjaga," ucapnya. Keputusan tersebut diambil Anies tak terlepas dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan agar pelayanan trasportasi publik tetap harus disediakan pemerintah dan harus bisa mengurangi kerumunan masyarakat. "Transporitasi publik tetap harus disediakan pemerintah pusat dan daerah dengan catatan meningkatkan tingkat kebersihan moda transportasi tersebut baik kereta api, bus kota, LRT, MRT, bus trans," katanya di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3). "Yang penting bisa mengurangi tingkat kerumunan, mengurangi antrean dan mengurangi tingkat kepadatan orang di dalam moda transportasi tersebut, sehingga kita bisa menjaga jarak satu dengan yang lainnya," lanjut Jokowi.

BACA JUGA: Covid-19 Meluas, Ini Pesan Presiden Jokowi untuk Kepala Daerah

Jokowi juga meminta agar kebijakan terkait pelayanan transportasi publik yang akan diterapkan pemerintah daerah dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat. "Semua kebijakan besar di tingkat daerah terkait COVID-19 harus dibahas dengan pemerintah pusat, untuk mempermudah komunikasi saya minta pemda berkomunikasi dengan kementerian terkait dan satgas COVID-19," ucapnya. Selain Jokowi, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi meminta Pemprov DKI Jakarta untuk mencari jalan keluar dan melakukan evaluasi atas terjadinya antrean panjang di halte Transjakarta pada Senin pagi. “Saya harap baik Pemprov DKI Jakarta maupun Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan evaluasi terhadap kondisi antrean penumpang Transjakarta dan mencegah kumpulan massa di halte. Untuk penentuan keputusan daerah seputar angkutan umum juga saya minta berkoordinasi lebih lanjut dengan Kemenhub,” ujar Budi. Kemenhub berharap antrean maupun kerumunan masyarakat yang ada di halte Transjakarta justru dapat dicegah. “Berarti harus ada penambahan frekuensi bus Transjakarta. Dengan penambahan frekuensi artinya kita akan memperpendek headway dan dengan pembatasan operasi mulai dari pukul 06.00 sampai 18.00 kita harapkan juga untuk masyarakat dapat menyesuaikan untuk pulang ke rumah masing-masing,” tambah Budi. Disadari Budi, apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta merupakan upaya mengatasi COVID-19 di wilayahnya. Meski demikian, Budi berharap Pemprov DKI Jakarta melakukan perubahan dengan penambahan frekuensi bus.

BACA JUGA: Wabah Corona, MUI:  Boleh Ganti Salat Jumat dengan Duhur

"Sehingga apa yang terjadi tadi pagi tidak terulang pada hari berikutnya,” katanya. Budi juga menekankan pada kondisi saat ini, angkutan umum tidak harus beroperasi dalam kondisi penuh. “Kalau penumpang sudah mencapai 50 persen dalam satu armada, maka sudah harus jalan," ujarnya. Evaluasi akan pembatasan transportasi publik juga dilontarkan Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Jakarta Raya. "Kami akan bersurat kepada Pemprov DKI, tapi kalau Pemprov DKI siang ini bisa melakukan evaluasi dan mengubah kebijakannya menurut kami itu lebih baik," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho. Teguh mengatakan, tim Ombudsman Jakarta Raya telah melakukan pemantauan di sejumlah Halte TransJakarta dan Stasiun MRT maupun Kereta Api Listrik (KRL). Pantauan dilakukan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Halte TransJakarta Ragunan, Halte Setiabudi dan Stasiun KRL Tanggerang. "Hasil pantauan di lapangan memang ada penumpukan yang luar biasa di sana," kata Teguh. Teguh menilai, kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengurangi frekuensi transportasi publik sebagai kebijakan yang salah. Seharusnya, dalam situasi saat ini justru frekwensi transportasi publik diperbanyak untuk mengurangi penumpukan orang dalam satu tempat dan satu waktu. Terlebih, sejumlah Halte TransJakarta belum memberlakukan pengecekan suhu tubuh pengguna layanan sebagaimana diamanatkan dalam protokol kesehatan mencegah penyebaran COVID-19. "Dikhawatirkan ketika Transjakarta memberlakukan pengukuran suhu tubuh setiap stasiun, maka antrean orang dalam satu tempat dan satu waktu akan lebih banyak lagi," kata Teguh.

BACA JUGA: Catet Ya! Suhu Tubuh 38 Derajat Celcius Dilarang Naik Kereta Api

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan pembatasan layanan transportasi publik. Moda Raya Terpadu (MRT)yang awalnya melayani tiap 5-10 menit kini hanya tersedia tiap 10 menit. Selain itu, MRT yang semula tersedia 16 gerbong kini hanya ada 3 hingga 4 gerbong. Lintas Rel Terpadu (LRT) juga semula tiap 10 menit, menjadi 30 menit. Baik MRT dan MRT hanya beroperasi pada pukul 06.00-18.00 WIB. Sedangkan untuk Transjakarta dari yang tadinya ada 248 rute, kini hanya akan ada 13 rute dengan keberangkatan setiap 20 menit dan jam operasional pukul 06.00 - 18.00 WIB.(gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: