Sindikat Narkotika Golden Triangle Diungkap

Sindikat Narkotika Golden Triangle Diungkap

JAKARTA - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bersama Brimob dan aparat Bea Cukai berhasil mengungpap sindikat narkotika internasional jaringan Golden Triangle. Lima orang diamankan berikut 159 kilogram sabu, 3.000 butir pil ekstasi dan 300 pil Happy Five. Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan pada operasi gabungan dalam tim Operasi Halilintar, para tersangka yang diamankan adalah ES (48), SD (42), US (46), SY (26) dan IR (24) di sejumlah lokasi berbeda. Para tersangka hanya berperan sebagai kurir ataupun transporter. Dijelaskan Listyo Sigit, pengungkapan berawal dari penangkapan ES. Wanita berusia 48 tahun ini ditangkap di sebuah gudang bekas bengkel las di Jalan Ujung Harapan, Kampung Pulo Asem, RT 009 RW 006, Kelurahan Babelan Kota, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada pada 27 Mei 2020. Dari tangan tersangka Polisi mengamankan narkotika jenis sabu seberat 35 kilogram. Baca Juga: Cegah COVID-19, Lapas Narkotika Gundung Sindur Disemprot Disinfektan "Setelah kami mendapatkan informasi masyarakat, kami langsung melakukan penyergapan di lokasi yang pertama. Saat itu ES sedang serah terima barang narkoba," ujarnya di Kantor Bareskrim, Kamis (25/6). Setelah menangkap ES, lanjut Listyo, tim penyidik langsung mengembangkan perkara tersebut. Hasilnya diketahui akan ada barang yang diturunkan di Pekanbaru, Riau. Pihaknya kemudian bergerak dan berhasil menangkap SD pada 18 Juni 2020. Dari tangan SD diperoleh sabu seberat 5 kilogram dan 3.000 butir pil ekstasi serta 300 butir erimin atau Happy Five. "Kami juga dapat info mereka (pelaku) berhubungan dengan Mr X domisili di Malaysia. Dan Mr X ini berhubungan dengan A di dalam lapas," ujar Sigit. Penangkapan tersebut kemudian dikembangkan lagi. Hasilnya polisi mendapat informasi akan ada pengiriman narkotika secara ship to ship. Baca Juga: Usai Salat Jumat, Buronan Kasus Narkotika Diringkus Pada 21 Juni, tim Operasi Halilintar berpatroli di perairan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh dan mencegat kapal motor berbendera Indonesia KM Taupin Jaya GT 6 Nomor 29/NAD. Ternyata di dalam kapal tersebut mengangkut 119 kg sabu. Tiga tersangka berinisial US, SY dan IY diamankan dalam penangkapan itu. Dari hasil pemeriksaan para tersangka, paket sabu tersebut diperoleh dari seorang WN Malaysia di perairan Batu Putih Malaysia dengan cara ship to ship. "Yang bersangkutan bertransaksi ship to ship di perairan Malaysia, lalu dibawa masuk ke perairan Aceh," kata mantan Kadiv Propam Polri ini. Sabu yang telah masuk di perairan Aceh kemudian dibawa ke darat. Selanjutnya dikirim menggunakan truk ke Sumatera, khususnya Pekanbaru dan ke wilayah Jabodetabek. Pengiriman menggunakan truk sengaja disamarkan dengan bahan pokok untuk mengelabui jika ada pemeriksaan petugas. "Ini jaringan Golden Triangle, jaringan Cina masuk ke Thailand - Malaysia - Indonesia sehingga kemasannya beda. Metodenya (pengiriman) ship to ship," ungkapnya. Total barang bukti narkotika yang disita tim Operasi Halilintar adalah 159 kg sabu-sabu, 3.000 butir ekstasi dan 300 butir H-5. Selain itu, disita juga satu timbangan besar, sembilan ponsel, uang Rp1,6 juta, satu unit kapal motor dan satu telepon satelit. Ditegaskan Sigit, pihaknya akan terus menelusuri jaringan sindikat Golden Triangle ini. "Kami tidak berhenti sampai di sini. Masih mengembangkan upaya lebih lanjut, terutama siapa pemesannya. Inisial (pemesan) sudah kami kantongi," tegasnya. Dikatakan Sigit, pihaknya telah bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia untuk mengungkap pemasok. Pasalnya pemasok barang diduga berada di Malaysia. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 114 ayat 2 juncto Pasal 1 dan 3 ayat 2 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati. "Subsidernya pasal 112. Tersangka lain saat ini sedang kita kembangkan," ujarnya. Sebelumnya Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar mengungkapkan semakin tingginya penyelundupan narkotika tak lepas dari hukum yang lemah. Diterangkan, banyak kasus terpidana mati yang masih mendekam di penjara sekalipun dapat mengendalikan peredaran narkoba. Dia mencontohkan, Freddy Budiman. Sebelum dieksekusi di Pulau Nusa Kambangan pada 2016, terpidana mati tersebut masih dapat mengendalikan jaringan narkobanya. Bahkan, Freddy yang ketika itu berstatus terpidana mati pernah mengubah penjara menjadi pabrik narkoba hingga menjalankan bisnis narkoba dari Nusa Kambangan. “Upaya hukum diajukan hingga berulang-ulang, ada kasus sudah hukuman mati masih bisa mengendalikan. Almarhum Freddy Budiman sudah berkali-kali dihukum dan dapat mengendalikan. Hanya di Indonesia bisa berkali-kali hukuman,” katanya, Selasa (23/6). Alasan lainnya, kata Krisno, adalah geografi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan banyak pintu masuk serta harga pasar yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Terkait pengguna, Krisno menyebut bahwa orang yang pakai narkoba lebih kreatif dalam melakukan penipuan. "Orang pakai narkoba itu kreatif nipu, bohong, janji enggak pernah tepat, paranoid. Curiganya berlebihan," tambahnya. Selain suka menipu, orang yang menggunakan narkoba mudah dikenali ketika melihat pergerakan pupil matanya. "Kalau kamu mendalami narkoba, perilakunya ketahuan. Tetapi, ketika ngomong lama gini ada gejala-gejala, contohnya lu punya pupil enggak fokus. Kalau yang kedua, pemakai jangka panjang pengaruh pada organ-organ tubuh lainnya, gigi atau kulitnya jadi berubah. Atau paling gampang tuh suka menipu," ungkapnya.(gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: