Gaya Kepemimpinan Prabowo Mudah Ditebak

Gaya Kepemimpinan Prabowo Mudah Ditebak

JAKARTA - Partai Gerindra kurang kaderisasi. Partai ini mirip PDIP. Padahal di antara keduanya punya kader-kader potensial. Wajar jika muncul tradisi lama dengan menjagokan Prabowo Subianto kembali dijagokan dalam Pilpres 2024. ”Sejak Gerindra didirikan maka tampuk kekuasaan tak pernah lepas dari Prabowo. Bagi pemilih tradisional tak masalah tapi rasional atau terpelajar paling akan beda,” terang Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies Jerry Massie kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Minggu (9/8). Jerry Massie lalu membandingkan dengan Partai Demokrat. ”Lihat Demokrat, kendati agak terlambat, tapi SBY telah melepaskan ketua pada anaknya Agus Yudhoyono,” imbuhnya. Barangkali, lanjut Jerry kepemimpinan single figther modelnya seperti ini yang diterapkan Partai Gerindra. Kendati bayak kader tapi tak mau melepas kepemimpinannya. ”Padahal, leadership is not a position but an action (kepemimpinan bukanlah posisi tapi suatu tindakan),” timpalnya.

BACA JUGA: Tengku Zulkarnain ke Jokowi: Kenapa Pendukung Anda Rata-rata Orang tak Beradab? ga Malu?

Disadari atau tidak, sepanjang Partai Gerindra berdiri, dan kini merapat di pemerintahan pascakekalahan pada Pilpres 2018, Partai Gerindra masih mengandalkan kepemimpinan tunggal. ”Mereka (Partai Gerindra, red) belum berhasil menciptakan generasi kedua. Saya nilai ini bisa berdampak pada Pilpres 2024. Tapi sisi elektoral bisa berdampak buruk,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, publik ingin melihat Partai Gerindra memiliki pemimpin baru. ”Harus ada terobosan dan inovasi baru. Kalau Prabowo publik bahkan lawan politik sudah mengetahui ke arah mana Gerindra akan di bawah bahkan strategi partai ini. Kalau yang baru pasti mereka akan sulit menebak,” ungkap Jerry. Disampaikan atau tidak dari mulut Prabowo, planning yang mengemukan, Prabowo masih mengendalikan Gerindra setidaknya dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang. ”Tapi bisa jadi personal branding and branding image dia tak cemerlang seperti 2019 lalu,” imbuhnya. Sebetulnya, lanjut Jerry, jika Prabowo legawa dan berani melepas jabatannya serta memberikan kesempatan pada kader terbaiknya seperti Menteri KKP Edhy Prabowo, Suhmi Dasco Ahmad ataupun Sekjen Ahmad Muzani. Paling tidak akan lain ceritanya. ”Tapi semua tergantung dari Prabowo. Dengan kurang gebrakannya maka otomatis membuat kredibilitasnya menurun. Padahal jika Gerindra oposisi saya jamin partai ini sulit ditaklukan. Tapi dengan dengan gaya saat ini maka Prabowo akan sulit bersaing dengan para rising star,” jelas Jerry. Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai sudah saatnya kandidat yang muda diusung pada Pemilihan Presiden 2024 karena saat ini hampir sebagian besar ketua umum partai besar di Tanah Air sudah berusia lanjut.

BACA JUGA: Bukan Jokowi atau Prabowo, Babe Haikal: Yang Tentukan Nasib Bangsa Ini adalah Habib Rizieq

”Pada 2024 Jokowi sudah dua periode dan secara konstitusi sudah tidak bisa maju lagi, sementara ketua partai-partai besar sudah berumur,” kata Ketua DPP PKS Wilayah Daerah Sumatera Bagian Utara Tifatul Sembiring. Menurut dia, pada 2024 Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati sudah mendekati usia 80 tahun, Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga sudah lebih 70 tahun, termasuk Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Ia melihat hingga saat ini belum ada kandidat yang benar-benar kuat dan masih simpang siur. ”Memang ada nama Anies Baswedan namun diserang terus secara politik, ada pula Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil, kalau Agus Harimurti Yudhoyono malah terlalu muda, kalau di Sumbar ada Irwan Prayitno yang sudah profesor,” jelasnya saat deklarasi pasangan calon Gubernur Sumbar Mahyeldi-Audy. Terkait dengan mekanisme pencalonan, Tifatul Sembiring mengungkapkan pada pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan partai politik dan gabungan partai politik berhak mengusung calon presiden dan wakil presiden semua parpol bisa mengajukan calon. ”Jadi secara aturan tidak ada syarat 20 persen di sana, itu hanya strategi partai besar saja agar partai kecil tidak bisa mencalonkan kandidatnya,” terangnya. Ia menilai penyederhanaan jumlah kandidat pada pilpres di tanah air belum cocok karena Indonesia luas ada 17 ribu pulau, 800 lebih suku dan bahasa yang beragam. ”Ini belajar dari pilpres 2019 Indonesia terbelah begitu keras karena hanya ada dua pasang calon,” pungkas mantan Mantan Menteri Kominfo itu. (fin/ful)  

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: