Dirut PT PAL Indonesia Mangkir

Dirut PT PAL Indonesia Mangkir

JAKARTA - Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) Budiman Saleh mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Budiman rencananya bakal diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi penjualan dan pemasaran pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2007-2017. Pemeriksaan terhadap Budiman Saleh ditujukan untuk melengkapi berkas perkara tersangka mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso. Budiman rencananya diperiksa sebagai Direktur Aircraft Integration 2010-2012 dan Direktur Niaga 2012-2017 PT Dirgantara Indonesia. Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, pemeriksaan terhadap Budiman bakal dijadwalkan ulang pada pekan depan. Namun, tak diketahui secara persis alasan Budiman Saleh berhalangan hadir dalam pemeriksaan hari ini.

BACA JUGA: UMKM Diharapkan Jadi Dinamisator Agar Indonesia Keluar dari Krisis Ekonomi 

"Pemeriksaan dijadwalkan ulang minggu depan," ujar Ali ketika dikonfirmasi, Rabu (26/8). Selain Budiman Saleh, tim penyidik juga menjadwalkan memeriksa tiga pensiunan TNI Angkatan Darat (AD). Mereka adalah Edi Martino, Mayjen TNI (Purn) Mulhim Asyrof, dan Zemvani Abdul Karim untuk mengusut kasus rasuah di PT Dirgantara Indonesia. Namun, dari tiga pensiunan jenderal yang dijadwalkan diperiksa, hanya Mulhim Asyrof dan Zemvani Abdul Karim yang hadir memenuhi panggilan KPK. Sementara Edi Martino tidak hadir. "Penyidik belum memperoleh informasi terkait ketidakhadirannya," kata Ali. KPK sebelumnya pernah memeriksa Budiman Saleh sebagai saksi kasus tersebut pada 12 Agustus 2020 lalu. Kala itu, Budiman Saleh diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT Dirgantara Indonesia.

BACA JUGA: Natya Shina Bandingkan Tariannya Lebih Bagus Ketimbang Lia ITZY, Netizen Geram

Kepada Budiman kala itu, kata Ali, KPK mengonfirmasi mengenai mengenai dugaan aliran dan penerimaan uang yang diterima dari mitra penjualan. Selain itu, pemeriksaan terhadap Budiman Saleh juga pernah dilakukan pada 8 Juli 2020. Saat itu, dibeberkan Ali, penyidik KPK mengonfirmasi terkait penganggaran mitra penjualan yang diduga dimasukkan dalam sandi-sandi anggaran. "Kemudian anggaran tersebut dibayarkan kepada para mitra padahal penjualan dan pemasaran produk PT DI (Dirgantara Indonesia) tersebut diduga fiktif," kata Ali. Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Susanto dan mantan Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PT DI Irzal Rinaldi Zailani. Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, pada awal 2008, tersangka Budi Santoso dan Irzal bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, dan Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan, mengadakan pertemuan. Mereka membahas kebutuhan dana PT DI untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya, termasuk biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

BACA JUGA: Gajinya Fantastis, Klub Peminat Harus Pikir Dua Kali Sebelum Rekrut Messi

"Selanjutnya tersangka Budi Santoso mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerja sama mitra/keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Namun sebelum dilaksanakan, tersangka Budi Santoso meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN," beber Firli. Firli menyebut Budi memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan. Kemudian Irzal menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen. Sejak Juni 2008 sampai 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha. "Atas kontrak kerjasama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama," jelas Firli.

BACA JUGA: Ditanya Jasa Apa Buat Negara? Ferdinand: Saya Jaga NKRI dari Kaum Intoleran

Lalu pada 2011, PT DI baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra/agen, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan. Selama 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan PT DI kepada 6 perusahaan tersebut sekitar Rp205,3 miliar dan USD8,65 juta. "Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara, dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia sekitar Rp205,3 miliar dan USD8,65 juta kalau disetarakan dengan kurs Rp14.500 nilainya Rp125 miliar, sehingga total Rp330 miliar," kata Firli. Budi dan Irzal disangkakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: