DPR Pertanyakan Perppu Baru

DPR Pertanyakan Perppu Baru

JAKARTA - Pandemi COVID -19 berdampak pada multi sektor. Akibatnya ekonomi pun terpuruk. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, krisis akibat Corona saat ini mengharuskan pemerintah melakukan extraordinary. Termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait stabilitas sistem keuangan bisa merespons dampak ke depan yang berada di luar prediksi. Pemerintah akan merevisi Undang-Undang (UU) terkait stabilitas sistem keuangan dengan peraturan lain yang kemungkinan bentuk payung hukumnya berupa Perppu.

BACA JUGA: Aguero Hapus Nomor 10 dari Instagram, Sinyal Messi ke Manchester City Makin Kuat

Menurut Sri Mulyani, keseluruhan stabilitas sistem keuangan, diperlukan kehati-hatian. Terutama dalam mempersiapkan langkah yang diperlukan seandainya ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati, menjelaskan bahwa Perppu disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.’ “Dari bunyi pasal itu dapat kita ketahui syarat presiden mengeluarkan Perppu adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,” ujar Anis di Jakarta, Rabu (26/8). Dia mempertanyakan kepada pemerintah hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi landasan diterbitkan Perppu baru tersebut. “Apakah Perppu No. 1 Tahun 2020 yang sudah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 dengan powerfull dan imunitas maksimal masih belum cukup. Sehingga Pemerintah mewacanakan akan menerbitkan Perppu baru,” tanya Anis.

BACA JUGA: Aguero Hapus Nomor 10 dari Instagram, Sinyal Messi ke Manchester City Makin Kuat

Anis mengingatkan saat akan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020, Pemerintah mengatakan akan menambah anggaran hingga Rp 405,1 Triliun yang sangat penting bagi perekonomian negara, dan penanganan kesehatan akibat COVID-19. “Saat itu Fraksi PKS menolak Perppu No. 1 tahun 2020 meski kemudian DPR menyetujuinya,” tandas Anis. Lalu, lanjutnya, Perppu ini juga memungkinkan Pemerintah mengambil langkah cepat untuk memfokuskan kembali dan realokasi anggaran, memanfaatkan dana abadi, mendorong pemda melakukan efisiensi. Selain itu membuka ruang untuk hibah dan utang. Sebab, tidak ada sumber lain untuk menutup defisit yang diprediksi sebesar 5,07 persen. “Lantas, apalagi yang akan menjadi alasan Pemerintah menerbitkan Perppu kali ini?” paparnya. Fraksi PKS mencermati defisit anggaran dalam RAPBN 2021 sebesar Rp971,2 triliun atau 5,50 persen dari PDB lebih besar dari hasil pembahasan sebelumnya bersama DPR. Hal ini berdampak pada melesatnya jumlah utang pemerintah.

BACA JUGA: UMKM Diharapkan Jadi Dinamisator Agar Indonesia Keluar dari Krisis Ekonomi 

“Utang diperkirakan akan bertambah sebesar Rp1.142,50 triliun pada 2021. Dengan utang yang makin melonjak tahun 2021, debt to GDP ratio akan mencapai kisaran 40 persen,” kata anggota Banggar DPR yang mewakili Fraksi PKS, Hermanto. Padahal, periode pemerintahan terdahulu tercatat debt to GDP ratio terus mengalami penurunan dari 50 persen pada 2004 hingga mencapai 24 persen pada pada 2014. Namun sebaliknya, mulai dari awal periode pemerintahan Jokowi pada 2014 hingga akhir 2019, debt to GDP ratio telah mencapai 30,2 persen. Sebagai catatan, meningkatnya debt to GDP ratio yang signifikan ini menunjukkan utang pemerintah tidak diiringi dengan bertambahnya produksi nasional secara proporsional. "Dengan kata lain kualitas utang Pemerintah kurang baik. Hal ini mengancam keberlanjutan fiskal," terangnya.

BACA JUGA: Natya Shina Bandingkan Tariannya Lebih Bagus Ketimbang Lia ITZY, Netizen Geram

Apalagi, defisit APBN selama ini dinilai tidak produktif. Indikasinya adalah adanya alokasi anggaran belanja yang tidak efisien serta potensi penyalahgunaan masih tinggi. “Kami berpendapat pemerintah perlu berkomitmen kuat dalam pengelolaan utang negara yang mana pengelolaan tersebut harus memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi” terang Hermanto. Fraksi PKS mendesak pemerintah mengkaji lebih dalam terkait peningkatan jumlah utang yang signifikan. Terutama rencana penerbitan Surat Berharga Negara (netto) sebesar Rp1.172,4 triliun. PKS menilai pemerintah perlu lebih memprioritaskan penerbitan project-based sukuk (sukuk negara dengan underlying proyect, Red). “Project based sukuk ini agar dapat mendorong disiplin fiskal yang lebih baik dan berdampak langsung pada dinamika sektor riil,” pungkasnya. (khf/fin/rh)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: