Musuh Negara, Penegak Hukum yang Memeras dan Menakuti Masyarakat

Musuh Negara, Penegak Hukum yang Memeras dan Menakuti Masyarakat

JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengingatkan penegak hukum agar tidak main-main dalam menjalankan tugasnya. Jika ada aparat yang terbukti memeras masyarakat, pengusaha dan eksekutif, akan menjadi musuh negara. "Saya peringatkan aparat penegak hukum dan pengawas yang melakukan pemerasan seperti itu adalah musuh kita semua, musuh negara. Saya tidak akan memberikan toleransi kepada siapapun yang melakukan pelanggaran ini," tegas Jokowi dalam pembukaan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (26/8). Menurutnya, penyalahgunaan regulasi untuk menakut-nakuti dan memeras membahayakan pembangunan nasional. Seharusnya, kata Jokowi, pembangunan bisa dilakukan cepat. Namun menjadi lamban dan tidak bergerak karena ada ketakutan.

BACA JUGA: Aguero Hapus Nomor 10 dari Instagram, Sinyal Messi ke Manchester City Makin Kuat

Kepala Negara mengakui masih ada regulasi yang tumpang tindih. Hal ini menjadi celah bagi aparat penegak hukum menakut-nakuti maupun memeras masyarakat. "Kita akan terus melakukan sinkronisasi regulasi secara berkelanjutan. Jika bapak dan ibu menemukan regulasi tidak sinkron, tidak sesuai konteks saat ini, tolong berikan masukan ke saya," paparnya. Selain itu, Jokowi mengaku akan terus mengikuti setiap aksi pencegahan korupsi. Jokowi menggarisbawahi tiga agenda besar. Pertama, pembenahan regulasi nasional. Seperti regulasi tumpang tindih, regulasi yang tidak memberikan kepastian hukum, regulasi yang memberikan prosedur berbelit, hingga regulasi yang membuat pejabat dan birokrasi tidak berani melakukan eksekusi dan inovasi. Kedua, melakukan reformasi birokrasi dan penyederhanaan birokrasi. Ketiga, menggalakkan budaya antikorupsi di masyarakat. "Pelaksanaan tiga agenda besar itu mari bersama-sama kita laksanakan. Samakan visi dan selaraskan langkah untuk membangun pemerintahan yang efektif, efisien dan inovatif sekaligus bebas korupsi," papar mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

BACA JUGA: Infografis: Kematian dan Kesembuhan Covid-19 di Kota dan Kabupaten

Menurutnya, jenjang birokrasi yang terlalu banyak di berbagai sektor harus disederhanakan. Tujuannya agar anggaran yang dialokasikan dapat memberikan manfaat secara maksimal bagi masyarakat. "Organisasi birokrasi yang terlalu banyak jenjang dan terlalu banyak divisi harus disederhanakan. Eselonisasi harus disederhanakan," jelasnya. Selama ini, kata Jokowi, jenjang birokrasi yang terlalu banyak disertai dengan tingkat eselon yang tidak efektif, justru memboroskan anggaran. Dana dari pemerintah lebih banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan rutin birokrasi yang tidak efektif. Selain itu, birokrasi dan eselonisasi yang bertingkat membuat pengawasan anggaran menjadi sulit. "Terlalu banyak eselon akan makin memperpanjang birokrasi. Selain itu, akan memecah anggaran dengan unit-unit yang kecil-kecil. Hal ini akan menyulitkan pengawasan. Akibatnya anggaran akan habis digunakan hanya untuk rutinitas saja," tuturnya.

BACA JUGA: Dianggap Ga Bisa Kerja, Ahok Diminta Kembalikan Seluruh Gaji dari Pertamina

Presiden menginginkan anggaran untuk program-program strategis yang berpengaruh pada kebutuhan nasional dan memenuhi kepentingan masyarakat. "Itu yang membawa lompatan-lompatan kemajuan," ucap mantan Wali Kota Solo ini. Karena itu, birokrasi yang mengorbankan kepentingan rakyat harus dirombak. Efektivitas dan transparansi perlu diutamakan dengan memanfaatkan proses digitalisasi sehingga memudahkan masyarakat. "Regulasi diperbaiki, tata kerja birokrasi disederhanakan. Transparansi serta pemanfaatan teknologi informasi, digitalisasi, yang mudah diakses publik harus terus dikembangkan," urainya. Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyebut konstitusi harus akrab dengan keseharian. Baik budaya pikir, maupun perilaku rakyat. Tujuannya, agar tata aturan konstitusi terlaksana dengan baik. "Konstitusi jangan dibiarkan berisi nilai-nilai abstrak yang tak terjangkau. Ini adalah bagaimana terus menggerakkan konstitusi. Tetapi bukan melulu memaksakannya dengan kekuasaan. Melainkan bagaimana kesadaran sendiri sebagai anak bangsa," kata Jimly. Menurutnya, selama 20 tahun perjalanan reformasi masih banyak yang perlu dievaluasi. Baik dari ketaatan terhadap konstitusi hingga penerapan demokrasi. Demikian pula dengan penegakan hukum. Rakyat, lanjutnya, mestinya merefleksikan penegakan hukum sepanjang perjalanan reformasi yang idealnya berjalan lebih baik. "Saya ingin mengajak generasi milenial mengadakan refleksi apa yang sedang terjadi selama 20 tahun pascareformasi tidak seluruhnya ideal," imbuhnya. Artinya, evaluasi perlu dilakukan secara substantif dengan daya jangkau yang jauh ke depan . Anggota dewan Pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi mengakui banyak hal yang mesti dilakukan untuk membenahi masa depan Indonesia. Termasuk pembuatan aturan alias regulasi. "Aturan-aturan terkesan adoptif dan sesaat. Tidak disatukan, tidak dipikirkan segalanya," jelasnya. Dia mengingatkan undang-undang harus tetap terikat dengan kultur, budaya, dan filsafat yang hidup di suatu tempat. Sehingga tidak bisa dicangkok begitu saja. Demikian pula, dengan kian lunturnya praktik demokrasi hingga berkembangnya dinasti politik. Meski begitu, Harry tetap optimistis Indonesia bisa melewati berbagai persoalan yang ada. "Para pendahulu bangsa juga menghadapi kesulitan. Tetapi mereka bisa mengatasinya," pungkas Harry.(rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: