Butuh Deteksi Dini DBD di Puskesmas

Butuh Deteksi Dini DBD di Puskesmas

BUNGURSARI – Memasuki September 2020, tren kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Tasikmalaya mulai melandai. Setelah wabah tersebut mengalami kenaikan signifikan sejak Maret sampai dengan Agustus lalu. Hal itu diungkapkan, Wali Kota Tasikmalaya Drs H Budi Budiman saat menerima Kunjungan Tim dari Kementerian Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, kenaikan kasus DBD di Kota Resik, beriringan dengan mewabahnya Covid-19. Otomatis, masyarakat khawatir memeriksakan kesehatannya ke fasilitas kesehatan, ketika mengeluh demam atau gejala lainnya. “Maka banyak yang memilih menjalani pengobatan mandiri di rumah, sampai 20 orang meninggal dunia di awal itu. Karena, saat mereka datang ke rumah sakit, kondisinya sudah kronis,” ucapnya kepada wartawan, Rabu (16/9).

BACA JUGA: BTN Optimistis Penyaluran Kredit Dari Dana Pemerintah akan Lampaui Target

Budi mengungkapkan kekhawatiran masyarakat mengakses sarana kesehatan, dibuktikan dengan tingkat hunian di rumah sakit yang hanya mencapai 40 persen saja dari kapasitas yang ada. Bukan berarti masyarakat sehat, tetapi ketakutan untuk berobat. “Termasuk sejumlah klinik tutup, dokter praktik tutup. Khawatir di nasional itu ada beberapa tenaga medis diluar penanganan corona, justru meninggal lantaran pasien tidak jujur ketika pernah bepergian atau lain sebagainya,” ceritanya seperti dikutip dari Radar Tasikmalaya (Fajar Indonesia Network Grup). Namun, meski saat ini sudah terbilang landau. Pihaknya secara intens tetap memonitor perkembangan. Melalui jaringan lintas sektoral, tidak hanya Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Melainkan mengerahkan lurah dan camat, supaya memberikan laporan setiap ada perkembangan terbaru kaitan DBD. “Alhamdulillah dari gerakan dan upaya yang kita lakukan, saat ini kasus kian menurun. Maka pada kesempatan pertemuan ini, saya sampaikan ke provinsi mau pun Kementerian Kesehatan supaya membantu kami menyediakan alat pengetesan dini DBD di setiap puskesmas,” papar Budi.

BACA JUGA: Warga Papua Ganti Beasiswa Veronica Koman, Natalius Pigai: Memalukan Wibawa Negara

Budi berharap ketika deteksi dini bisa dilakukan, ketika ada pasien yang mengeluhkan gejala seperti DBD bisa langsung dipastikan dengan akurat. Tidak terlebih dahulu menunggu hasil pemeriksaan di laboratorium, yang cenderung memperlambat penanganan. “Di fasilitas kesehatan terendah seperti Puskesmas itu harus ada. Sebab, sekarang DBD sudah tak bisa dikira-kira, di rumah saya saja anak dan cucu sampai 4 orang saat DBD kemarin sedang naik,” keluhnya. “Angka kematian kasus DBD kemarin, rata-rata adanya keterlambatan penanganan. Nah, di Puskesmas Sambongpari itu, kasusnya paling tinggi tetapi kematian nol, karena mereka ada alat pengetesan seperti rapid Covid-19 yang bisa mendeteksi DBD dengan cepat,” lanjut Budi memaparkan. Kasubdit Arbovirosis Kementerian Kesehatan, dr Tiffani Tiara Pakasi mengatakan dalam menanggulangi DBD, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Tetapi perlu adanya pemicuan terhadap masyarakat, untuk turut serta dalam mengendalikan DBD, lewat kesadaran kolektif. “Kami ke sini bukan untuk mengevaluasi atau mencari kesalahan kasus yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Tetapi kami memberi masukan dari hasil peninjauan secara langsung, bahwa perlunya partisipasi lintas sektoral, swasta dan masyarakat dalam pencegahan DBD di Kota Tasik itu penting,” tuturnya. Menurutnya, Pemerintah Pusat sedang gencar mendorong gerakan satu rumah satu jumantik dalam pencegahan DBD. Ia berharap program itu bisa direalisasikan di daerah, tetapi tidak hanya sebatas seremoni melainkan menjadi budaya yang dibutuhkan oleh masyarakat. “Maka kami sangat memerlukan dukungan tokoh masyarakat, lembaga, serta pemerintah daerah dalam mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk dan lain sebagainya,” harap Tiffani. (igi)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: