Waspada Dinasti Politik Bisa Timbul Penyalahgunaan Wewenang

Waspada Dinasti Politik Bisa Timbul Penyalahgunaan Wewenang

JAKARTA - Dinasti politik bisa membuat penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut bisa membuat dampak hukum berupa sanksi tegas dalam Pilkada 2020. Misalnya, dari ketentuan yang melanggar seperti politik uang atau pengerahan birokrasi yang membuat Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi tak netral. Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Petalolo menyatakan apabila terbukti akan dijerat Pasal 188 atau Pasal 190 Juncto Pasal 71 UU Pemilihan (10/2016). Dengan sanksi pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta bagi pejabat negara yang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Hal ini berlaku baik di daerah sendiri maupun daerah lain. Dewi menjelaskan, praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh pasangan calon dengan cara memanfaatkan anggaran fasilitas atau program pemerintah oleh kerabat yang berkuasa. Akibatnya kandidat kepala daerah rentan akan konflik kepentingan. "Atau juga bisa dengan cara memobilisasi birokrasi oleh kerabat yang berkuasa untuk mendukung kerabatnya yang lain pada kontestasi pilkada," ujar Dewi di Jakarta, Sabtu (26/9). Dia mengatakan praktik politik dinasti dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara mewariskan kedudukan atau jabatannya. Menurutnya, cara ini dilakukan mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya berdasarkan kekerabatan. "Politik dinasti merupakan bentuk upaya elite untuk mempertahankan kekuasaan satu berbagai kelompok keluarga memonopoli kekuasaan politik," tuturnya. Dia mencontohkan politik dinasti yang dilakukan pada saat wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan pada 2010. Dimana terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon Airin Rachmi dan Benyamin. Diketahui, Airin merupakan adik ipar Gubernur Banten Ratu Atut. "Praktik politik dinasti tidak hanya terjadi di dalam pemilihan di tingkat nasional. Namun masif terjadi di tingkat lokal," tukasnya. Menurutnya untuk mengantisipasi pelanggaran oleh calon kepala daerah, Bawaslu telah melakukan pencegahan. Upaya pencegahan nantinya akan meminimalisir pelanggaran. "Upaya pencegahan dilakukan Bawaslu dengan cara melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan, melakukan pengawasan dan penelusuran serta memberikan imbauan," ucapnya. Sementara itu, Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan, pada pilkada-pilkada sebelumnya, dinasti politik sudah banyak. Belakangan, dinasti politik semakin menggurita,” kata akademisi Universitas Al Azhar Indonesia ini. Dia melanjutkan, dinasti politik tersebut adalah bagian dari terkonsolidasinya oligarki dan dinasti politik setelah 22 tahun reformasi. “Bukan demokrasi yang menguat dan terkonsolidasi. Tapi oligarki dan politik dinasti,” paparnya. Hal tersebut diwarnai dengan majunya anak dan menantu Presiden Jokowi di Pilkada Solo dan Medan. Kemudian, anak Wapres Ma’ruf Amin di Pilkada Tangsel. Ditambah anak dan adik menteri di daerah lain. Selain itu, anak dan istri para pejabat lainnya. Menurut Ujang, hal ini merupakan gejala yang mengkhawatirkan bagi bangsa ini. Karena daerah dan keluarga akan dikuasai oleh keluarga tertentu. “Demokrasi telah dibajak oleh kekuatan oligarki dan politik dinasti,” tegasnya. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menyatakan, nasib demokrasi ke depan makin suram. Demokrasi, lanjutnya, hanya akan dikuasai oleh orang-orang kaya dan yang punya jabatan. “Demokrasi hanya akan jadi alat orang kaya dan dinasti politik. Juga merekia yang punya kuasa memperluas dan memperkuat kekuasaannya. Yakni dengan menjadikan keluarga dan kerabatnya menduduki posisi kepala daerah, anggota DPR, DPRD, dan jabatan-jabatan lainn,” pungkasnya. (khf/rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: