Jangan Multi Tafsir, UU Cipta Kerja Harus Dijelaskan Terbuka

Jangan Multi Tafsir, UU Cipta Kerja Harus Dijelaskan Terbuka

JAKARTA – Lembaga negara diharapkan tidak melakukan tafsir yang keliru dan parsial atas isu-isu krusial UU Cipta Kerja terutama pada klaster Ketenagakerjaan. Pimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo harus transparan dalam memaparkan isi RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU. Hal ini penting agar publik bisa mendapatkan akses yang lengkap dan utuh terhadap isu-isu krusial di UU Cipta Kerja sesuai apa adanya. Sehingga tidak menimbulkan multitafsir yang menyesatkan. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati menyebut, berbagai lembaga negara yang melakukan tafsir atas UU Ciptaker secara keliru dan parsial, memungkinkan terjadinya pemahaman yang salah terhadap poin-poin penting dan krusial dalam UU Cipta Kerja terutama pada klaster ketenagakerjaan. Pengesahan UU yang sangat cepat oleh DPR tetap dilakukan walau dua fraksi menolak.

BACA JUGA: Makan Bareng Rizky Febian, Nathalie Holscher: Ini yang Aku Pengen

“Fraksi PKS menolak dengan tegas karena menganggap banyak prosedur pembahasan yang tidak wajar dan mengabaikan hak-hak masyarakat pekerja,” ujarnya, Kamis (8/10). Mufida mempertanyakan kenapa bahan UU Ciptaker yang sudah disahkan tidak segera dibagikan kepada anggota DPR dan publik. “Ada apa ini? Sekarang lembaga negara melakukan tafsir atas beberapa isu krusial dalam UU Ciptaker utamanya di Klaster ketenagakerjaan, sementara masyarakat tidak bisa mengakses salinan UU Ciptaker yang sudah ketok palu, sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan pijakan informasi yang benar,” katanya, Mufida melihat perbincangan terhadap isu-isu krusial pada UU Cipta Kerja saling berkembang dengan tafsir masing-masing. Beberapa lembaga negara seperti kementerian beberapa lembaga yang harusnya netral dan tidak berwenang ikut melakukan kampanye atas tafsir isi UU Ciptaker, yang sampe detik ini (8 Oktober-red) belum bisa didapatkan oleh anggota DPR.

BACA JUGA: Menkop dan UKM: UU Cipta Kerja Permudah Pengembangan KUMKM

Mufida menyayangkan sikap pemerintah dan pimpinan DPR yang tetap memaksakan pengesahan UU Cipta Kerja pada paripurna 5 Oktober lalu di tengah penolakan banyak komponen masyarakat, ormas besar, sebagian besar rakyat dan di tengah pandemi yang sedang berat saat ini. “Rakyat benar-benar dikorbankan,” tegasnya. Sementara itu. Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid menilai, ada ketidaklaziman dalam aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) oleh pemerintah dan mayoritas fraksi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI). Selain adanya berbagai substansi RUU yang bermasalah yang masih terus mendapat kritikan dan penolakan publik. HNW sapaan akrabnya yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menyoroti saat pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) dan tingkat II di Rapat Paripurna draft utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan ke semua fraksi, tetapi anehnya semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.

BACA JUGA: Bergerak Menuju Istana, Massa Tolak UU Ciptaker Dipukul Mundur

Meski pada saat pengambilan keputusan di Baleg, ada dua fraksi, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Demokrat (FPD) menolak untuk meneruskan rapat paripurna, tetap saja RUU itu diteruskan untuk dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat II yaitu Rapat Paripurna DPR RI. Namun, lagi-lagi, tidak ada draft akhir Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dibagikan sebelumnya kepada setiap fraksi maupun anggota DPR. “Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi dipaksa untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draft secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu. Begitu terburu-burunya, sehingga jadwal pengesahan RUU dalam rapat paripurna DPR pun mendadak dimajukan, dari tanggal 8 menjadi tanggal 5 september. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik ini semuanya?” ujarnya.

BACA JUGA: Dukung Pengembangan Koperasi Berbasis Digital, KemenkopUKM Siap Launching IDXCOOP

Karena tidak terpenuhinya azas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal itu, HNW menilai wajar sikap beberapa fraksi, seperti Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Demokrat (FPD), yang menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke Rapat Paripurna, dan ketika dibawa juga ke Rapat Paripurna, wajar bila FPKS dan FPD menolak menyetujui RUU itu menjadi UU Ciptakerja. Lebih lanjut, HNW menuturkan bahwa konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR RI melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR. “Seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU, termasuk menerima draft utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir. Dan itu yg sudah menjadi konvensi di DPR,” tuturnya. HNW menambahkan, kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.

BACA JUGA: Beda dengan Era SBY, Dahlan Iskan: Pemerintah Sekarang Didukung Penuh DPR

Sehingga, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna-red) maupun pada tingkat akhirnya dalam rapat Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif. “Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pengambilan keputusan terhadap Omnibuslaw RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” tandasnya. (khf/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: