Perangkat Desa

Perangkat Desa

--

Oleh: Dahlan Iskan

TERNYATA sudah lebih 10 tahun saya tidak ke Banjarmasin. Baru Jumat kemarin saya ke sana lagi. Mungkin karena istri sering ke Kalsel sehingga saya merasa sudah ikut sering ke sana.

Bandaranya sudah jadi. Besar sekali. Saking besarnya sampai terasa kosong, kurang ramai dan kurang sentuhan interiornya: masih seperti bandara yang setengah telanjang.

Inilah salah satu bandara yang proses pembangunannya begitu lama. Saya masih ingat saat ikut mengecek pembebasan tanahnya. Begitu banyak masalah tanah yang sulit diterabas. Akhirnya beres juga. 

Di Banjarmasin, soal bandara, ternyata wajah jauh dari kaputing.

Turun dari pesawat tiba-tiba saya ingin mampir ke Martapura. Bandara ini memang dekat ibu kota kabupaten Banjar itu. Ternyata tidak banyak yang berubah di Martapura –kecuali makam Guru Sekumpul di pusat kota. Maka, kalau ada bangunan baru paling megah di Martapura adalah makam itu. Panjang bangunannya lebih dari 100 meter. Bentuk bangunannya mirip masjid besar di Arab Saudi. Bahkan awalnya bangunan itu saya kira masjid. 

Saya ingin masuk ke dalamnya. Ingin tahu apakah di dalam juga semegah tampak luarnya. Tapi pintunya terkunci. Ditutup tripleks berjajar. Memang lagi ada proyek renovasi makam besar-besaran. Itulah makam Guru Zai. Ulama besar Kalsel. Pemrakarsa acara keagamaan rutin yang disebut "Pengajian Sekumpul". Puluhan ribu orang berkumpul mendengarkan ceramahnya: lebih banyak menggunakan bahasa daerah Banjar. 

Ada lorong-lorong panjang dari jalan raya menuju makam ini. Di kanan kiri lorong orang berjualan. Berjubel. Ratusan kios ada di situ. Mirip jalan masuk ke Masjid Sunan Ampel. 

Pun di sepanjang jalan depan makam ini. Penuh orang jualan. Inilah makam yang menggerakkan ekonomi kampung di dekatnya.

Pengajian itu tidak ada lagi. Dua putra Guru Zai belum ada yang mau ceramah seperti ayah mereka. Peziarah begitu berduyun ke makam ini. Tiap hari. Apalagi di bulan Maulud seperti sekarang ini.

Modernisasi di Martapura terjadi di makam ulama pujaan mereka.

Malamnya saya makan ''lontong Banjar''. Kuahnya sayur nangka  yang dikoalisikan dengan ikan haruan bumbu Bali. Langganan istri. Namanya: Lontong Orari. Di resto ini gambar Guru Zai dipajang di dindingnya. Foto ulama itu sudah seperti jimat tolak bala di Kalsel. Begitu banyak rumah dan tempat usaha yang memasang foto seperti itu. Pun di beberapa usaha milik orang Tionghoa di seluruh Kalsel. Sampai pun di Kaltim dan Kalteng.

Setelah makan malam dimulailah acara pokok untuk saya: bertemu perangkat desa se kabupaten Tanah Bumbu. Hampir 200 orang. Topiknya mengenai desa informasi: bagaimana desa-desa menyikapi zaman informasi sekarang ini.

Penyelenggaranya: Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) cabang Tanah Bumbu. Ia bekerja sama dengan dinas urusan desa di kabupaten itu. 

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Emas Bodoh

2 minggu

Nilai 95

2 minggu

Madinah Kafe

4 minggu

Somasi RBT

1 bulan

Gaza Rock

3 bulan

Gaza Ben

3 bulan