“Kadang sore suka hujan. Saya suka kolam di sini karena gratis, cuma bayar sekali waktu masuk" imbuhnya.
Suasana Cipanas terasa akrab dan sederhana. Pedagang kecil berjajar di sisi jalan dekat parkiran, mereka menjual aneka macam makanan, dari mie rebus, nasi dan lau pauk, gorengan, rujak, hingga pakaian.
Ada yang menginap di lapak-lapak yang tersedia, ada juga yang hanya datang berjualan dan pulang.
"Saya jualan Sabtu-Minggu saja, nggak nginap. Ada juga pedagang yang nginep, tergantung ramainya pengunjung" kata Ibu Ida, salah satu pedagang rujak.

Pemandangan gunung Galungugg dari persawahan di Desa Arjasari Kecamatan Lewisari Tasikmalaya (fin.co.id)
Jejak Panas dari Letusan Galunggung
Keberadaan air panas di Cipanas tak lepas dari sejarah panjang Gunung Galunggung itu sendiri. Setelah letusan besar pada tahun 1982–1983, muncul sumber-sumber air panas alami di lereng gunung. Fenomena ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas geotermal (panas bumi) di bawah permukaan tanah.
Ketika magma dan batuan panas berinteraksi dengan air tanah, air tersebut memanas dan naik ke permukaan sebagai mata air panas yang kaya mineral dan belerang. Dari sinilah lahir pemandian Cipanas yang kini menjadi tempat wisata favorit sekaligus anugerah alam pasca bencana.
Dilansir dari berbagai sumber, letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982–1983 memang tercatat sebagai salah satu yang paling dahsyat dalam sejarah Indonesia modern. Abu vulkaniknya sempat mencapai ketinggian hingga 20 kilometer dan bahkan menyebar sampai ke Australia.
Peristiwa itu menyebabkan gangguan pada penerbangan internasional, termasuk insiden pesawat British Airways Flight 9 yang sempat kehilangan tenaga mesin akibat abu vulkanik saat melintas di langit Indonesia.
Namun dari letusan yang membawa kerusakan itu, alam memulihkan dirinya dengan cara menakjubkan. Di kaki gunung yang dulu memuntahkan lahar panas, kini mengalir air hangat yang membawa ketenangan bagi siapa pun yang datang.
Waktu hampir sore. Tak terasa saya sudah hampir tiga jam di sini. Nada dering notifikasi WhatsApp di ponsel seolah membangunkan saya dari lamunan.
"Abang jangan lama," begitu tulis pesan dari sosok wanita Sunda warga Desa Arjasari, Kabupaten Tasikmalaya. Dia adalah Istri saya yang menunggu di rumah.