Opini . 24/10/2025, 20:06 WIB
Opini oleh Erwin Syahputra
Wakil Ketua Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP)
Di tengah riuh rendah politik nasional dan derasnya arus informasi digital, satu elemen fundamental dalam demokrasi kerap terpinggirkan: pers. Padahal, pers bukan sekadar penyampai berita. Ia adalah penjaga akal sehat bangsa, pengawas kekuasaan, dan suara bagi mereka yang tak terdengar. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif terancam oleh kepentingan, pers hadir sebagai benteng terakhir yang menjaga integritas demokrasi.
Namun, ironisnya, peran vital ini justru sering kali dilupakan—baik oleh penguasa maupun oleh masyarakat yang larut dalam euforia digital dan politik identitas.
Pers memiliki fungsi yang tak tergantikan dalam sistem demokrasi:
Namun, semua ini hanya mungkin jika pers bebas dan independen. Ketika media tunduk pada tekanan politik atau menjadi alat propaganda, maka demokrasi kehilangan salah satu penopangnya. Tanpa ruang publik yang sehat, demokrasi hanya tinggal slogan kosong.
Di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan transparansi publik, jasa wartawan untuk negara menjadi instrumen strategis dalam membentuk persepsi, menyampaikan kebijakan, dan menjalin komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Namun, di balik fungsi komunikatif ini, terdapat pertanyaan mendasar: apakah jasa wartawan untuk negara sekadar alat promosi, atau justru menjadi jembatan etis antara kekuasaan dan publik?
Jasa press release, liputan media, dan konferensi pers bukan sekadar aktivitas teknis. Ketiganya merupakan bentuk representasi narasi negara kepada rakyat. Ketika pemerintah menggunakan jasa wartawan untuk menyampaikan capaian, kebijakan, atau respons terhadap isu publik, ada harapan bahwa informasi tersebut akurat, relevan, dan tidak manipulatif.
Namun, dalam praktiknya, jasa ini sering kali beroperasi dalam zona abu-abu antara komunikasi publik dan propaganda. Ketika narasi yang dibangun terlalu satu arah, tanpa ruang untuk kritik atau klarifikasi, maka fungsi jurnalistik sebagai pengawas kekuasaan bisa tergerus oleh kepentingan institusional.
Tidak dapat disangkal bahwa jasa wartawan membantu meningkatkan visibilitas program pemerintah, membangun citra positif, dan memperkuat hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks birokrasi yang kompleks dan masyarakat yang beragam, jasa ini menjadi alat penting untuk menyederhanakan pesan dan memperluas jangkauan informasi.
Namun, manfaat ini harus diimbangi dengan komitmen terhadap etika jurnalistik. Ketika wartawan atau media hanya menjadi corong pemerintah tanpa independensi, maka yang terjadi bukan komunikasi, melainkan dominasi narasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mengkritisi.
Solusinya bukan menolak jasa wartawan untuk negara, melainkan menata ulang relasi antara media dan pemerintah. Jasa informasi publik harus dijalankan oleh wartawan yang menjunjung tinggi integritas, bukan sekadar memenuhi pesanan. Pemerintah pun harus membuka ruang bagi media untuk bertanya, mengkritik, dan menyampaikan suara masyarakat.
Transparansi dalam penggunaan anggaran media, keterlibatan jurnalis independen, dan publikasi yang berbasis data adalah langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa jasa wartawan tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan mitra demokrasi.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa pers bukan hanya pencatat peristiwa, tetapi juga penggagas perubahan. M. Tabrani, seorang jurnalis visioner yang kini diakui sebagai Pahlawan Nasional, adalah tokoh yang mengusulkan istilah "Bahasa Indonesia" sebagai bahasa persatuan. Ia menolak istilah "bahasa Melayu" demi menghindari kesukuan dan memperkuat identitas nasional.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com