Opini . 04/08/2025, 19:41 WIB

Rebut dan Eksekusi Kedaulatan Pangan Sekarang, Bukan Ketahanan Pangan

Penulis : Mihardi
Editor : Mihardi

Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin

Narasi "Ketahanan Pangan" di Indonesia selama ini telah menjadi kalimat jebakan yang berulang dan merugikan bangsa kita. Istilah ini, menurut pandangan saya, hanyalah ilusi stabilitas yang mengamankan pasokan pangan melalui jalan pintas paling pragmatis, yaitu impor.

Sebaliknya, "Kedaulatan Pangan" adalah hak mutlak bangsa Indonesia untuk secara mandiri menentukan dan mengendalikan sistem pangan dari hulu ke hilir. Ini adalah tentang kemandirian, martabat, dan kemampuan kita untuk memproduksi pangan sendiri, tanpa tunduk pada intervensi pasar global atau ketergantungan impor. Ini adalah amanat dalam pembukaan UUD 1945 untuk menjadi Negara Berdaulat.

Data menunjukkan, ketergantungan kita pada impor terus meningkat. Impor gandum, misalnya, melonjak dari 7,4 juta ton pada 2016 menjadi 12,8 juta ton pada 2022, Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini menjadikan Indonesia importir gandum terbesar kedua di dunia (Global Trade Atlas, 2023). Kondisi ini diperparah dengan impor beras yang terus berulang, bahkan ketika produksi domestik mencukupi. Pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir (BPS), meskipun klaim produksi dalam negeri meningkat.

Impor komoditas lain seperti kedelai (sekitar 2,4 juta ton pada 2022 dengan nilai $1,7 miliar USD) dan jagung (sekitar 1,7 juta ton pada 2023) juga merugikan petani domestik (BPS, Kementerian Pertanian). Impor jagung sering dilakukan saat harga jagung lokal sedang rendah, bertentangan dengan Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2012 yang mengamanatkan penetapan harga acuan yang menguntungkan petani. Impor kedelai yang mencapai sekitar 90% kebutuhan nasional juga memukul UMKM produsen tahu dan tempe saat harga global bergejolak, yang berpotensi melanggar Pasal 14 UU No. 18 Tahun 2012 yang mengamanatkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan yang merata.

Dengan demikian, sudah saatnya kita bergeser dan melakukan perubahan besar menuju Kedaulatan Pangan sejati. Ini bukan hanya soal mengisi perut rakyat, tetapi tentang kemampuan esensial untuk mengendalikan nasib pangan secara utuh dan mandiri, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) dan (3) serta UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah melalui tiga pilar utama, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional (BAPANAS), Holding BUMN ID FOOD, dan bersama KADIN Indonesia, harus berani keluar dari zona nyaman birokrasi reaktif dan segera bertindak sebagai eksekutor kedaulatan pangan, bukan hanya menjadikan ketahanan pangan sebagai pemanis wacana.

Peran Vital Pilar Kedaulatan Pangan

Kementerian Pertanian sebagai Perancang Utama, Bukan memadamkan kebakaran

Kementerian Pertanian (Kementan) seharusnya menjadi perancang dan konseptor perubahan besar kedaulatan pangan. Namun, Kementerian ini sering kali terlihat hanya sibuk mengurus masalah musiman dan reaktif.

Subsidi pupuk sering tidak tepat sasaran, meninggalkan celah sistemik. Contohnya, pada awal 2024, banyak petani di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah lainnya mengeluhkan kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi akibat regulasi baru berbasis digital (Permentan No. 10 Tahun 2022), yang memicu protes (Kompas & Tempo, Maret-April 2024) dan berpotensi melanggar Pasal 15 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Selain itu, data produksi yang tumpang tindih dan tidak akurat (produksi padi 2020 mencapai 31,31 juta ton, jauh di bawah target yang ditetapkan, berdasarkan Statistik Pertanian BPS 2020) sering menjadi dasar kebijakan impor yang masuk saat panen raya, langsung menjatuhkan harga jual petani. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 18 Tahun 2012 yang mengamanatkan pemerintah untuk melindungi petani.

BAPANAS sebagai Nakhoda Tunggal yang Harus Bertaring

BAPANAS diciptakan untuk menjadi nakhoda tunggal dalam tata kelola pangan nasional, sesuai amanat Pasal 126 UU No. 18 Tahun 2012 dan diperkuat oleh Perpres No. 66 Tahun 2021. Namun, kewenangannya sering tumpang tindih dengan kementerian lain, membuatnya tidak bisa bergerak efektif, yang bertentangan dengan semangat integrasi dalam Perpres tersebut. Kemenko Perekonomian harus bertindak sebagai "dirigen" untuk menyelaraskan kewenangan ini.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com