Opini . 31/07/2025, 22:25 WIB

Kala Non-Muslim Mencari Arti Kemerdekaan atas Tempat Ibadahnya

Penulis : Sigit Nugroho
Editor : Sigit Nugroho

Oleh: Moh Ramli

Penulis buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, wartawan dan lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.

Persekusi yang begitu miris hingga menimbulkan korban luka dan trauma pada kegiatan ibadah jemaat Kristen di Kota Padang, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu adalah alarm bahwa kasus intoleransi di Indonesia masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan. Secara kuantitas memang kasus ini hanya sekian persen saja. Namun jika dibiarkan, "api kecil" itu akan merembet dan memberikan ruang bagi mereka yang memiliki pikiran sempit untuk melakukan aksi yang serupa di kemudian hari.

Hati masyarakat Tanah Air yang menyaksikan aksi biadab itu cukup lega pada akhirnya setelah mendengar bahwa Kepolisian Daerah Sumatera Barat segera turun tangan menyelidiki kasus tersebut. Disebutkan telah ada beberapa pihak yang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat merusak kaca jendela, pintu, dan peralatan ibadah lainnya.

Dalam wawancara dengan kami para wartawan usai acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1446 H/2025 M yang berlangsung di Atria Hotel Gading Serpong, Tangerang, Banten, Senin, 28 Juli 2025 malam, Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar telah meminta bahwa kasus ini adalah yang terakhir kalinya. Sebab bila tidak, ini akan mencederai ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah yang telah dirajut secara sungguh-sungguh selama ini.

Usai dilantik menjadi menteri oleh Presiden Prabowo Subianto, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memang tengah gencar dan fokus mengenai hal tersebut. Misalnya, ia meluncurkan apa yang dinamakan sebagai Kurikulum Berbasis Cinta. Kurikulum ini tak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi bertujuan menanamkan nilai kebersamaan sejak dini, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Kurikulum ini disebut sebagai pendekatan pendidikan yang menitikberatkan pada titik temu antarumat manusia, bukan perbedaan.

Pendekatan lewat pendidikan dalam merekatkan kebersamaan antar sesama memang diyakini sebagai pendekatan yang paling efektif. Sebab ia ditumbuhkan lewat cara "merangsang" pikiran dan hati sejak dini. Kebersamaan dalam perbedaan itu tidak dipaksakan, melainkan lewat pengetahuan dan pembiasaan secara gradual di ruang kelas dan wilayah lembaga pendidikan. Bagaimana output dari kurikulum tersebut bagi generasi mendatang, tentu kita tidak tahu sebesar apa hasilnya. Waktulah yang nanti menjawabnya. Tetapi harapan besarnya adalah: positif. Sehingga kasus intoleransi di Bumi Khatulistiwa ini benar-benar lenyap sebab keberadaannya mencederai kemanusiaan.

Data dari Setara Institute

Pada Selasa, 29 Juli 2025 saya menghubungi Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan untuk meminta sejauh mana data empirik intoleransi yang telah terjadi dewasa ini di Indonesia. Alasannya, organisasi ini adalah salah satu yang paling konsisten selama 18 tahun terakhir dalam fokus penelitian tersebut. Salah satu data yang saya dapatkan adalah mengenai gangguan terhadap pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah. Angkanya menurun dari 65 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024. Pelanggaran terbanyak dilakukan oleh ormas keagamaan. Menurut Setara Institute, meski menurun, angka tersebut tetap menunjukkan permasalahan pendirian tempat ibadah belum terselesaikan secara sistemik.

Praktik intoleransi dan diskriminasi, baik oleh masyarakat maupun aparat negara, masih terjadi, memperlihatkan jarak antara komitmen politik dan implementasi nyata di lapangan. Oleh karenanya, Setara Institute pun telah merekomendasikan pada Presiden Prabowo Subianto untuk menyelaraskan agenda pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan toleransi menjadi bagian dari agenda prioritas pembangunan negara dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029.

Dalam buku: Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus (2025), saya telah mengurai bahwa masalah pendirian tempat ibadah memang menjadi problem akut. Dibeberapa daerah, kita masih menyaksikan konflik ini terjadi. Sebagian non-muslim mengeluhkan bagaimana sulitnya membangun tempat ibadah mereka. Ketika akan dibangun, akan ada saja hambatan-hambatan yang terjadi, salah satunya yakni penolakan keras dari sebagian masyarakat. Dalam kejelasan bernegara seperti di Indonesia, harusnya problem ini tak terjadi lagi. Karena tegas dalam konstitusi melarang keras untuk mengganggu proses ibadah agama lain dan wajib menghargai keyakinan pada setiap warga negara.

Masalah berikutnya adalah, di daerah-daerah yang terjadi problem tersebut, pemerintahnya kurang tegas dan tak menggunakan otoritasnya sebagai penjaga dan pelaksana amanat konstitusi tersebut. Akhirnya, pemerintah daerah terlihat hanya mengambil sikap dan keputusan atas request karena desakan dari mayoritas, alias masyarakat kebanyakan. Pemerintah daerah pun mengorbankan apa yang harusnya menjadi kewajibannya untuk menjaga toleransi yang sebenarnya. Akibatnya, saat ini sebagian saudara kita yang non-muslim di Indonesia masih mencari arti kemerdekaan sesungguhnya atas tempat ibadahnya karena masih tersisih sebab sulitnya melakukan pembangunan.

Dalam buku itu, saya menuliskan beberapa tawaran solusi (yang sebetulnya telah klise) dalam menyelesaikannya masalah tersebut. Pertama, jalannya adalah dengan dialog. Kedua, ketegasan pemerintah yang wajib menjalankan tugasnya seperti perintah konstitusi. Ketiga, kedewasaan beragama. Beragama harus lebih terbuka dan menyadari bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah keniscayaan dan itu direstui oleh Tuhan. Oleh karenanya, masyarakat harus sadar bahwa iman tak akan kotor dengan hanya adanya tempat ibadah agama lain terbangun. Keagamaan kita tak akan rusak karena di samping kiri dan kanan ada umat lain yang mengerjakan keyakinan yang berbeda.

Jangan Lagi Musyawarah

Kembali ke kasus intoleransi di Kota Padang di atas. Kasus semacam ini hemat saya memang jangan lagi memakai pendekatan kekeluargaan atau musyawarah dalam menyelesaikannya. Sebab hal tersebut sudah dalam ranah pelanggaran hukum dan pengkhianatan konstitusi. Masyarakat Tanah Air telah dijamin dalam kebebasan beragama dan beribadah. "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu".

Artinya, setiap sikap intoleransi yang mengarah pada pelanggaran hukum dan penyelewengan atas konstitusi tersebut haruslah ditarik pada ranah yang semestinya. Negara harus tegas dan tanpa ragu menegakkan sebuah keadilan yang hakiki. Sebab, jika pendekatannya lewat cara-cara kekeluargaan dengan dalil mengedepankan musyawarah, maka tak akan ada efek jera sekaligus memberikan angin segar bagi mereka yang beragama secara ekstrim. Akhirnya, negara pun gagal menegakkan true justice bagi para korban yang tak bersalah.

Apakah musyawarah salah? Hemat saya, dalam kasus intoleransi apalagi hingga menyebabkan korban terluka secara fisik dan psikis, pendekatan musyawarah adalah sangat keliru. Sebab ini bukan mengenai sengketa atau kesalahpahaman dua pihak yang harus didudukkan secara bersama-sama dengan kepala dingin. Pelarangan pembangunan tempat ibadah dan persekusi terhadap pihak tertentu saat melaksanakan ritual keagamaan yang terjadi selama ini di Indonesia bukan karena kesalahan tanpa sadar, melainkan karena ada semacam mens rea sebab ketidaksukaannya pada sebuah perbedaan.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com