Catatan Dahlan Iskan . 09/07/2025, 08:09 WIB
Anda sudah terbiasa memandang ke utara. Pun saya. Singapura di utara. Jepang di utara. Korea Selatan di utara. Sekarang Tiongkok juga di utara. Ke Eropa Anda harus agak ke utara. Demikian juga ke Amerika dan Kanada.
Itu akibat kenyataan bahwa kemajuan selalu ada di utara. Australia pernah jengkel dengan frame serba utara itu. Seolah yang di selatan itu hanya seperti bagian bawah dunia. Hanya seperti halaman belakang. Apa lagi ada framing: laut selatan hanya berisi nenek sihir.
Suatu saat saya ke Australia Barat. Ke Perth. Bertemu perdana menteri negara bagian itu --namanya pun sudah lupa. Yang tidak akan lupa adalah kantornya. Utamanya di lobinya. Di situ, di salah satu dindingnya, terpasang peta dunia. Menarik. Atraktif. Peta itu dipasang terbalik. Dengan demikian letak Australia berada di bagian atas dunia!
Yang juga menarik: teks yang tertulis di bawah peta itu. Teksnya tidak terbalik. Dengan mudah terbaca kalimat yang menggelitik: tidak lagi di bagian bawah!
Itu, bagi saya, tidak sekadar peta yang terbalik. Bukan pula hanya sebuah humor. Itu mewakili sebuah perasaan dari sebuah wilayah yang diperlakukan tidak adik. Pemasangan peta dengan cara seperti itu adalah bentuk protes. Bentuk ketidak terimaan akan nasib.
Itu juga mencerminkan tekad perlunya membalik keadaan. Satu-satunya jalan melawannya adalah: bergerak maju. Bangkit. Kejar kemajuan. Hapus stigma.
Senin kemarin saya mendarat di Perth. Sudah lama tidak ke sini. Rasanya saya pernah bertekad --setelah tiga kali ke Perth-- untuk tidak mau ke Perth lagi. Indah, bersih, tapi membosankan. Pukul 17.00 sudah sepi --kehidupan seperti berhenti pada jam itu.
Kali ini saya ke Perth dalam posisi mau tidak mau: cucu Pak Iskan minta saya ikut ke Perth --bersama Bonek dan Bonita. Australia Barat mengundang Persebaya bertanding di sana. Sekalian menandai 35 tahun sister province Jawa Timur-Australia Barat.
Saya pilih naik pesawat paling murah: TransNusa. Dari Bali ke Perth. Konsekuenainya: harus bermalam di Bali. Tidak mengapa. Sesekali ke Bali tanpa agenda. Jalan-jalan. Atau bertemu sahabat.
Ternyata sulit cari hotel di Bali di hari libur panjang seperti ini. Apalagi cari hotelnya juga tidak serius.
Akhirnya saya pilih cari homestay. Yang tidak jauh dari Kuta dan Bandara. Sekalian merasakan --untuk kali pertama-- seperti apa yang disebut homestay di Bali.
Ternyata seperti hotel juga. Hanya kamarnya sedikit --hanya 7 kamar. Rumah khas Bali yang sudah disesuaikan dengan standard hotel untuk turis asing: bersih, kamar mandi di dalam, ada taman kecil dan kolam renang kecil --lebih tepatnya tempat berendam.
Kamar saya di lantai dua. Saat mau menuju ke kamar itu saya harus melewati koridor lantai bawah. Lewat kamar berkaca lebar. Tembus pandang. Di dalamnya terlihat wanita muda tinggi berisi. Dia hanya pakai bikini, mematut diri di depan cermin. Turis asing. Itu bikin dosa di mata tapi sayang dilewatkan. Dosanya kecil karena hanya terlihat sesapuan pandang.
Sambil menunggu kunci, saya duduk di sofa pojok. Ada tumpukan buku. Sekitar 15 buku. Saya buka-buka buku itu. Berbagai bahasa --kecuali bahasa Indonesia. Saya tertarik dengan salah satunya. Saya coba baca bagian awalnya. Menarik. Maka saya pinjam buku itu untuk saya bawa ke kamar.
Ternyata, sejak itu, saya tidak keluar kamar lagi. Saya tenggelam dengan buku itu. Sampai larut malam. Sebuah novel --tapi kejadian nyata. Judulnya: The Schoolgirl, Her Teacher and His Wife oleh Rebecca Hazel.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com