Catatan Dahlan Iskan . 11/04/2025, 05:38 WIB

Agomo Budoyo

Penulis : Afdal Namakule
Editor : Afdal Namakule

Saya tidak memberi tahu kalau akan mampir ke rumahnya. Selama ini saya hanya merasa tidak reciprocal –meminjam istilah tarif impornya Donald Trump. Kirun sudah beberapa kali ke rumah saya. Saya harus melakukan tit for tat.

Kalau pun pagi itu Kirun tidak ada di rumah juga tidak apa-apa. Tujuan utamanya kan silaturahmi. Tujuan lainnya hanya sampingan: membicarakan skenario ketoprak-tokoh untuk ulang tahun Harian Disway Surabaya yang akan datang.

Rumah Kirun di pinggir jalan raya jurusan alternatif Balerejo-Ngawi. Tidak perlu salah masuk. Banyak karangan bunga di halamannya: Selamat HUT ke-41 Padepokan Seni Kirun (Padski). Salah satu pengirimnya tetangganya sendiri: Jenderal Yudo Margono.

Pak Yudo, kalau lagi pulang kampung, sering naik sepeda motor ke rumah Kirun. Ngobrol soal kesenian Jawa. Waktu menjabat Panglima TNI Yudo begitu sering menanggap wayang kulit. Mungkin Yudo adalah juara penyelenggara pertunjukan wayang kulit –sekaligus juara menontonnya sampai pagi.

"Itu. Pak Kirun ada," ujar Tomy Gutomo, dirut Harian Disway yang bersama saya.

Ia lagi rebahan di kursi panjang kayu jati: tidak melihat kami datang. Mobil listrik memang tanpa suara. Kami pun mendekat ke kursinya. Lhadalah.... Kirun kaget.

Kami ngobrol di situ. Di ruang terbuka antara rumahnya dan tobongnya. Rumah itu besar sekali. Bagian depannya sebuah joglo Jawa yang besar. Joglo bintang empat. Terasa seperti joglo mewah. Dengan perabotan yang juga berkelas. Kelihatannya sering ada acara besar di joglo itu, termasuk kawinan.

Di belakang joglo itu ada kamar-kamar bernomor. Lalu ada tangga naik –ke kamar-kamar di atas.

Di sebelah lain ruang duduk terbuka itu ada kamar-kamar lain yang juga bernomor. Di belakang kamar-kamar itulah tobongnya: panggung permanen untuk pertunjukan ketoprak. Sangat terawat, pertanda sering ada pertunjukan atau latihan di situ. Lukisan di panggung itu selalu diperbarui. Sangat terjaga. Mengalahkan panggung Sriwedari Solo sekali pun.

Kirun hidup dari kesenian dan ia menghidup-hidupkan kesenian.

Di dinding-dinding tobong itu banyak gambar lukisan Gus Dur ukuran besar-besar. Itulah tokoh idola Kirun: Gus Dur. Ia merasa cocok dengan jalan pikiran Gus Dur dalam memandang agama dan budaya.

''Agomo. Budoyo. Negoro''.

Tulisan itu ada di beberapa bagian di kompleks padepokan seni Kirun. Termasuk di mobil-mobilnya.

Agomo adalah cinta-kasih. Semua agama mengajarkan cinta. Budoyo adalah roso rumongso. Sopan santun. Tata krama. Dan negoro adalah tatanan.

Ada empat mobil yang parkir di garasi terbukanya. Termasuk Alphard. Lalu ada masjid kecil di halaman depan. Bentuk masjidnya seperti kelenteng. Dibuat mirip masjid Cheng Hoo di Surabaya.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com