fin.co.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam tindakan ajudan Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo yang menghalang-halangi kerja jurnalistik terhadap jurnalis Tempo, Riri Rahayu, saat ingin mewawancarai pimpinnya itu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, AJI, pasukan pengawal Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menghalang-halangi kerja jurnalistik dan bertindak kasar ke Riri. Peristiwa ini terjadi usai Dody selesai Rapat Koordinasi tentang Pengendalian Banjir dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid dan Gubernur Banten Andra Soni di Kementerian PU, Jakarta, pada Jumat, 21 Maret 2025.
“Pengawal menteri main fisik. Aku pula yang kena,” kata Riri seperti dikutip Tempo.
Riri bercerita peristiwa ini terjadi ketika ingin wawancara cegat terhadap Dody soal tindaklanjut dan detail hilangnya 32 situ di Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Namun, tiba-tiba seorang pengawal yang bertubuh besar dan tinggi menghalang-halangi Riri untuk bertanya-jawab dengan Dody. Keperluan wawancara ini dianggap penting karena Dody ketika Konferensi Pers bersama Nusron dan Andra Soni, irit bicara. Karena itu, dia dan jurnalis lain baru memiliki kesempatan bertanya usai jumpa pers tersebut.
Shafira Cendra Arini, jurnalis Detik.com, yang mengetahui peristiwa ini mengatakan ajudan Menteri Dody memang tampak sengaja menghalangi Riri. Padahal, kata dia, jurnalis yang lain masih bisa untuk mewawancarai Dody. Ajudan ini juga bergeming. “Ajudan ini hanya mendorong Riri,” kata Shafira saat dihubungi pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Kepada pengawal Dody, Shafira ini juga telah mengingatkan agar tidak menggunakan fisik yang besar itu. Menurut dia, tubuh pengawal ini tinggi dan besar sekaligus berpakaian biru gelap. “Jangan main fisik, Pak,” kata dia.
Tak hanya itu, Shafira juga mengadukan tindakan ajudannya ini ke Dody. Namun, Dody tak merespons. “Pak ini ajudannya. Tapi Bapak melengos,” katanya.
Baca Juga
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sepanjang 2024 ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Kasus kekerasan fisik paling banyak terjadi dengan jumlah 20 kasus. Adapun, jenis kasus kekerasan lain berupa teror atau intimidasi, pelarangan liputan, ancaman, serangan digital, penuntutan hukum, kekerasan berbasis gender, perusakan alat liputan, hingga pembunuhan.
Pelaku kekerasan pun didominasi oleh polisi dengan jumlah 19 kasus. Pelaku lain meliputi anggota TNI, organisasi masyarakat, orang tak dikenal, aparat pemerintah, hingga perusahaan.
Temuan Konsorsium Jurnalisme Aman yang terdiri dari Yayasan Tifa, Human Rights Working Group (HRWG), dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) tak jauh berbeda. Menurut data Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang disusun Yayasan Tifa bersama PPMN dan HRWG melalui kerja sama dengan Populix, ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi di masa transisi pemerintahan. Dari survei terhadap 760 jurnalis di Indonesia, 24 persen di antaranya mengalami teror dan intimidasi, 23 persen menghadapi ancaman langsung, 26 persen mendapat pelarangan pemberitaan, dan 44 persen mengalami pelarangan liputan.
Atas peristiwa itu, AJI Jakarta menyatakan sikap sebagai berikut.
1. Mendesak pihak Kepolisian untuk memproses hukum pelaku intimidasi dengan delik pidana, Pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999, karena telah melakukan penghalang-halangan terhadap proses kerja jurnalistik. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
2. Mendesak Dewan Pers untuk menerjunkan Satuan Tugas Anti-kekerasan untuk memastikan kepolisian mengusut kasus ini dengan tuntas, termasuk potensi korban kekerasan yang lain. Dewan Pers juga perlu memantau dan menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang selama ini luput dalam pendataan.
3. Jurnalis melakukan kerja-kerja pers sebagai bentuk check and balances serta pengimplementasian tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi. Segala bentuk intimidasi dan ancaman yang dilakukan merupakan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang dapat berakibat pada terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta terlanggarnya hak publik atas informasi.