MEGAPOLITAN . 17/01/2025, 14:46 WIB

KPA Banten Prihatin Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Kandung Diputus Bebas PN Serang

Penulis : Rikhi Ferdian Herisetiana
Editor : Rikhi Ferdian Herisetiana

fin.co.id -  Komnas Perlindungan Anak (KPA) Provinsi Banten menyampaikan keprihatinannya atas putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Serang pada 16 Januari 2025 dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan terdakwa MS (46th) terhadap anak kandungnya.

Menurut KPA Banten, putusan bebas terhadap terdakwa tidak hanya mencederai rasa keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi pukulan berat bagi perjuangan melindungi anak-anak yang rentan.

"Kami menilai keputusan ini dapat menjadi preseden buruk yang melemahkan upaya pemberantasan kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal dari negara dan masyarakat," kata Ketua KPA Provinsi Banten, Hendry Gunawan, dalam keterangannya, Jumat 17 Januari 2025.

Dikatakan Hendry, pihaknya sangat khawatir bahwa putusan bebas dalam kasus ini dapat menciptakan preseden buruk yang membahayakan anak-anak di masa depan.

Menurut dia, para "predator" anak bisa saja melihat keputusan ini sebagai celah hukum yang dapat dimanfaatkan, bahkan menggunakan berbagai langkah dan pertimbangan yang diambil sebagai yurisprudensi untuk membela diri di kasus serupa.

"Ini adalah ancaman serius yang harus menjadi perhatian seluruh pihak, baik aparat penegak hukum, pengambil kebijakan, maupun masyarakat luas," ujarnya.

KPA Banten menilai keputusan ini tentu memberikan sinyal yang salah bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat lolos dari jerat hukum dengan menggunakan taktik yang mengaburkan fakta dan menciptakan keraguan terhadap korban.

"Misalnya, pencabutan laporan, perdamaian yang tidak sahih, dan argumen-argumen manipulatif lainnya berpotensi dijadikan alat pembelaan oleh pelaku kekerasan di kemudian hari," tuturnya.

Atas putusan bebas pelaku kekerasan seksual ini pun, KPA Banten menyoroti beberapa hal penting yang menunjukkan betapa keputusan ini kurang mencerminkan keberpihakan kepada korban.

Pertama, pertimbangan bahwa korban melaporkan kejadian ini karena rasa cemburu terhadap ibu tirinya sungguh tidak masuk akal. Anak yang mengalami kekerasan, terutama dari figur otoritas seperti ayah kandung, biasanya merasa takut dan enggan untuk berbicara.

Fakta bahwa korban berani mengungkapkan kejadian ini kepada pamannya, yang kemudian mendampingi korban membuat laporan, menunjukkan adanya dasar yang kuat atas pengaduan tersebut. Alasan cemburu jelas tidak sebanding dengan risiko besar yang harus dihadapi korban ketika melaporkan kasus ini.

Kedua, perdamaian antara korban dan pelaku tidak dapat dijadikan dasar pembenaran hukum. Dalam kasus ini, relasi kuasa antara ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban sangat nyata, terlebih dengan situasi di mana ibu kandung korban telah meninggal dunia.

Perdamaian tersebut patut dicurigai sebagai hasil tekanan, bukan keputusan sukarela dari korban. Lebih jauh, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tegas menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.

"Perdamaian semacam ini tidak seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum," ucap Hendry.

Ketiga, pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh korban juga tidak semestinya dijadikan alasan untuk menghentikan proses hukum. Kekerasan seksual terhadap anak adalah delik biasa, yang artinya aparat penegak hukum tetap berkewajiban memproses kasus meskipun korban mencabut laporannya.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com