fin.co.id - Usulan Presiden Prabowo Subianto soal denda damai bagi koruptor dinilai kontroversial. Pasalnya, sistem denda damai bagi koruptor dapat merusak sendi-sendi negara hukum.
"Peristiwa pidana itu selain mengadili perbuatan juga bisa mengadili kerugian yang terjadi akibat perbuatan," kata Pakar Hukum Pidana Abdul Hadjar dimintai komentarnya soal rencana Prabowo memaafkan koruptor dengan membayar denda damai, Jumat 27 Desember 2024.
Hadjar menegaskan, pembayaran ganti rugi tidak akan menghapuskan perbuatan pidana yang dilakukan koruptor. Makan Itu, kata dia, pelaku tetap harus dihukum.
Hadjar mengatakan, penerapan sistem ini dapat menyebabkan "chaos" di masyarakat, di mana orang akan merasa bahwa kejahatan bisa diselesaikan dengan cara bayar denda.
"Orang akan gampang melakukan kejahatan, toh akhirnya bisa diselesaikan dengan denda damai, dengan materi," katanya.
Ia menekankan pentingnya keadilan yang tidak hanya dilihat dari segi materi tetapi juga penegakan hukum yang adil. "Ini jelas merusak budaya hukum," tegasnya.
Dengan adanya pandangan yang berbeda ini, masyarakat kini dihadapkan pada perdebatan panjang mengenai bagaimana sebaiknya Indonesia menangani masalah korupsi secara lebih efektif dan berkeadilan.
Baca Juga
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengatakan syarat utama dari pengampunan yakni dengan membayar denda damai. Hal itu disampaikan Prabowo di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu 18 Desember.
“Koruptor yang bersedia mengembalikan uang yang telah dicuri dari rakyat, kita mungkin bisa memberikan kesempatan untuk memaafkan mereka. Tetapi kembalikan dulu apa yang telah dicuri,” kata Prabowo.
Namun, kata dia, jika koruptor tidak mau melakukan hal itu akan diberikan hukuman yang tegas.
“Namun, jika mereka tetap membangkang, kita akan menegakkan hukum dengan tegas,” katanya.
(Faj)