fin.co.id - Sejumlah pihak menolak kebijakan pemerintah terkait rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Bahkan, netizen membuat petisi penolakan PPN 12 kini telah capai ratusan ribu di bit.ly/pajakmencekik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan PPN tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat.
Petisi yang ditandatangani oleh ratusan ribu warga tidak hanya menjadi alat protes, tetapi juga representasi aspirasi publik yang mendesak.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, penolakan ini sendiri didasari oleh banyak warga merasa bahwa Pemerintah cenderung memilih jalan yang "mudah" untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
"Respon terhadap petisi ini dapat menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan kepekaan terhadap aspirasi masyarakat. Kegagalan merespon secara tepat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah," ucap Achmad ketika dihubungi oleh Disway fin grup pada Jumat 20 Desember 2024.
Melanjutkan, Achmad juga menambahkan bahwa meskipun perkembangan ekonomi digital di Indonesia terbilang sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Baca Juga
"Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD 77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5 persen dari total penerimaan pajak."
Menurut Achmad, diperlukan adanya perbaikan dalam mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia.
"Misalnya, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan," jelas Achmad.
Jika Pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp 70-100 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai "Digital Services Tax" (DST). Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2 persen untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik. Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD 700 juta. (Bianca/dsw).