fin.co.id - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2024 mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan, termasuk pengamat ekonomi dan pelaku usaha.
Kebijakan ini diprediksi akan semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah melemah, serta mempengaruhi daya saing produk lokal, terutama bagi sektor usaha kecil dan menengah (UMKM).
Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Erik Hidayat, menyatakan keprihatinannya terkait rencana kenaikan tarif PPN ini.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menjadi beban tambahan yang signifikan bagi dunia usaha, terutama UMKM, yang sudah berjuang menghadapi tantangan ekonomi yang berat.
Erik menjelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, meningkatkan tekanan pada UMKM, dan mendorong sebagian pelaku usaha untuk beralih ke ekonomi informal guna menghindari beban pajak yang semakin berat.
"Prediksi ke depan, kebijakan ini dapat memicu pelemahan daya beli masyarakat, meningkatkan tekanan terhadap UMKM, hingga mendorong sebagian pelaku usaha beralih ke ekonomi informal untuk menghindari beban pajak yang dirasa memberatkan," ujar Erik, Rabu, 11 Desember 2024.
Selain itu, Erik juga menyoroti potensi dampak buruk pada sektor industri, terutama produk lokal. Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga produk lokal yang taat pajak menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor yang tidak terpengaruh oleh tarif pajak yang sama.
Baca Juga
Hal ini, menurut Erik, akan membuat produk lokal kalah bersaing dengan barang impor ilegal yang lebih murah, serta memperlambat hilirisasi produk dalam negeri.
"Kalau PPN 12 persen, harga barang akan tinggi. Produk lokal yang mau taat jadi mahal, kalah sama impor ilegal yang bisa jauh lebih murah. Sehingga hilirisasi produk jadi stagnan, dan industri manufaktur jadi sepi peminat," jelas Erik.
Kebijakan PPN 12 persen juga dikhawatirkan akan menekan omzet dan profitabilitas banyak usaha, terutama di sektor UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Pengusaha lokal berpotensi menghadapi kesulitan untuk mempertahankan harga yang kompetitif di tengah kenaikan biaya yang dipicu oleh pajak yang lebih tinggi.
Menanggapi hal ini, HIPPI merekomendasikan agar pemerintah menunda penerapan tarif PPN 12 persen atau bahkan menurunkannya untuk memberi ruang bagi dunia usaha, terutama UMKM, untuk beradaptasi dengan situasi ekonomi yang masih penuh tantangan.
Erik juga berharap agar kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah lebih berpihak pada rakyat dan tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara semata.
"Kami berharap kebijakan fiskal yang diambil mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan keberlanjutan dunia usaha, demi kesejahteraan masyarakat serta keberlangsungan ekonomi bangsa," tegas Erik.
Selain itu, HIPPI juga mengusulkan agar kenaikan PPN dibatasi hanya untuk barang-barang mewah, yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip keadilan sosial.