fin.co.id - Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025, sebuah kebijakan yang diperkirakan akan memberikan dampak besar terhadap perekonomian nasional.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kebijakan ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi yang sudah cukup sulit, terutama bagi kelas menengah yang menjadi motor konsumsi rumah tangga.
Peningkatan Inflasi dan Kenaikan Harga Barang
Bhima menyatakan bahwa kenaikan PPN akan langsung berdampak pada inflasi yang lebih tinggi, karena harga berbagai barang akan ikut melonjak.
"Kenaikan PPN 12 persen akan membuat banyak barang lebih mahal, dan ini pasti akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang sudah terbebani dengan kenaikan harga pangan dan kesulitan mencari pekerjaan," jelasnya, saat dihubungi disway, Senin, 25 November 2024.
Baca Juga
- Sri Mulyani Klaim Pengelolaan Utang APBN Dilakukan Secara Hati-Hati
- Kembali Digelar, BRI UMKM EXPO(RT) 2025 Siap Bawa Produk Lokal Mendunia
Kelas menengah, yang menyumbang sekitar 35 persen dari konsumsi rumah tangga, diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh kebijakan ini.
Bhima khawatir belanja masyarakat akan menurun, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan barang kosmetik.
“Konsumen akan beralih ke barang-barang yang lebih murah atau bahkan menunda pembelian,” tambah Bhima.
PHK di Berbagai Sektor: Ancaman yang Nyata
Kenaikan tarif PPN juga diprediksi akan memengaruhi pelaku usaha. Bhima mengingatkan bahwa penyesuaian harga yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengimbangi kenaikan PPN bisa mempengaruhi omzet mereka.
"Bagi pelaku usaha, dampaknya bisa lebih buruk karena penurunan daya beli dapat menyebabkan penurunan kapasitas produksi dan akhirnya berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," ungkapnya.
Baca Juga
- BRI Microfinance Outlook 2025 Hadirkan Narasumber Terkemuka Dunia
- BUMN Siapkan 340 Pesawat Baru untuk Penuhi Kebutuhan Penerbangan Domestik Indonesia
Dalam situasi seperti ini, PHK bisa terjadi di berbagai sektor, khususnya di industri yang mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai sumber utama permintaan.
Potensi Pertumbuhan Ekonomi yang Terhambat
Bhima mengingatkan bahwa konsumsi rumah tangga adalah salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika daya beli menurun akibat kenaikan PPN, maka sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi juga akan terhambat.
"Pola konsumen akan berubah. Mereka akan mencari barang yang lebih murah, menunda pembelian barang-barang sekunder atau tersier, dan berbelanja di pasar informal yang tidak dikenakan PPN," ujarnya.
Namun, Bhima memperingatkan bahwa perubahan pola belanja ini bisa menyebabkan kerugian besar bagi penerimaan pajak negara, karena banyak aktivitas ekonomi yang akan bergeser ke ekonomi bawah tanah (underground economy), yang tidak tercatat dan tidak dikenakan pajak.
Alternatif Kebijakan Pajak yang Lebih Kreatif
Bhima mengkritik kebijakan kenaikan tarif PPN ini sebagai solusi yang tidak kreatif untuk meningkatkan pendapatan negara.
Menurutnya, alih-alih menaikkan tarif PPN, pemerintah harusnya memperluas basis objek pajak dengan mengenakan pajak kekayaan, pajak atas keuntungan anomali komoditas, dan pajak karbon.