MKEK IDI Kaji Ulang Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

fin.co.id - 16/11/2024, 21:59 WIB

MKEK IDI Kaji Ulang Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

Ilustrasi - Foto dokter melakukan operasi, Image oleh marionbrun dari Pixabay

fin.co.id - Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) tengah melakukan pengkajian ulang terhadap sumpah dokter dan etika kedokteran.

Hal ini untuk menyesuaikan perkembangan peradaban serta teknologi kedokteran yang terus berkembang.

"Kode etik kita itu tahun 2012, ada 21 pasal dan kita sudah melihat bahwa apa yang ada di kode etik itu perlu disesuaikan dengan perkembangan. Misalnya kita bicara dulu MDGs, sekarang sudah SDGs," terang Ketua MKEK IDI dr. Djoko Widyarto, DS, DHM, MHKes pada konferensi pers di Jakarta, 16 November 2024.

Tak hanya itu, ada beberapa ketentuan yang belum diatur. Misalnya telemedisin, boleh tidaknya dokter itu menghentikan pelayanan kepada pasien.

Pengkajian ini dilakukan pihaknya pada kegiatan rapat kerja yang berlangsung akhir pekan ini, 17 November 2024, dan akan dibahas bersama dengan MKEK IDI dari wilayah provinsi hingga cabang kabupaten/kota.

"Besok akan kita bahas dan itu pun belum disahkan. Masih menunggu muktamar di Lombok nanti bulan Februari (2025), setelah itu baru sah dan akan berlaku," lanjutnya.

Perubahan kode etik ini nantinya akan mengacu pada standar global dari World Medical Association yang telah merevisi Sumpah Dokter pada 2017 lalu.

"Jadi sudah cukup lama. Cuman kita belum menyesuaikan dengan situasi yang ada di Sumpah Dokter yang baru, yang sekarang namanya bukan 'sumpah', tapi 'janji'. Menurut internasional namanya Janji Dokter," paparnya.

"Kemudian baru dua tahun yang lalu juga ada perubahan kode etika internasional yang disahkan di Berlin Kemarin, 2022," tambahnya.

Wakil Ketua Divisi Kemahkamahan MKEK IDI Dr dr Bahtiar Husain, SpP, MHKes menambahkan, kode etik ini menjadi pilar pembentuk profesionalisme dokter di samping keilmuan, keterampilan, dan perilaku.

Sementara itu, Ketua Dewan Penasehat MKEK IDI Prof. Dr. Med. dr. Frans Santosa, SpJP(K), FIHA menegaskan bahwa kode etik ini bukan sekadar aturan yang mengikat, tetapi juga mencegah sengketa antara dokter dan pasien.

"Sejauh setiap dokter mematuhi kode etik kedokteran itu dengan baik, maka tidak akan ada masalah yang terjadi seperti dugaan sengketa dokter pasien, dokter-dokter, dokter dan institusi, dan lain-lain."

Frans menjelaskan bahwa pengkajian bukan hanya merujuk pada aturan internasional, tetapi juga mengadopsi kearifan lokal.

"Acuannya adalah kode etik internasional yang baru, namun kita juga harus memperhatikan local wisdom, kearifan lokal yang ada di bangsa kita ini. Kita beda dengan mereka (negara asing), gotong royong, tolong menolong, itu kan satu kearifan bangsa Indonesia," lanjut Djoko.

Khanif Lutfi
Penulis