Ekonomi . 07/11/2024, 14:57 WIB
fin.co.id - Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi serangkaian tantangan besar yang menghambat potensi pertumbuhannya, salah satunya adalah perjanjian eksklusivitas yang menciptakan ketidakadilan dalam persaingan.
Dalam acara The 6th International Conference on Law and Governance in a Global Context (icLave) 2024 yang digelar pada 4-5 November lalu di Jakarta, sejumlah pakar hukum dan ekonomi mengungkapkan kondisi industri ini yang semakin terjepit oleh praktik-praktik bisnis yang kontroversial dan merugikan.
Mone Stepanus, seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), mengungkapkan bahwa struktur industri otomotif Indonesia yang didominasi oleh lima produsen besar—Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi—telah menciptakan situasi oligopoli yang menghalangi masuknya pemain baru.
Kelima produsen ini menguasai lebih dari 82 persen pasar otomotif nasional, dan menurut Mone, persaingan yang sehat semakin terhambat oleh praktik perjanjian eksklusivitas yang dilakukan oleh agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan dealer-dealer mereka.
Perjanjian eksklusivitas ini, lanjut Mone, memaksa para dealer untuk menjual merek tertentu tanpa kebebasan untuk menjual produk dari merek lain. Dalam beberapa kasus, perjanjian ini bahkan mengharuskan dealer untuk meminta izin terlebih dahulu jika mereka ingin mendirikan usaha baru yang menjual produk otomotif dari merek yang berbeda.
Kondisi ini menciptakan hambatan besar bagi investor yang ingin masuk ke pasar otomotif Indonesia dengan membawa merek baru, karena mereka harus menghadapi dominasi pemain lama yang telah menjalin perjanjian eksklusif dengan dealer-dealer terkemuka.
Menurut Mone, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, iklim persaingan yang tidak sehat akan semakin parah, dan Indonesia akan semakin sulit menarik investasi baru di sektor otomotif.
"Praktik monopoli atau oligopoli seperti ini sering kali dilakukan melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antara produsen besar dan agen pemegang merek," ujarnya dalam panel diskusi yang dihadiri oleh sejumlah akademisi terkemuka dari dalam dan luar negeri.
Dian Parluhutan, seorang pakar hukum persaingan usaha dari Universitas Pelita Harapan (UPH), menambahkan bahwa meskipun sektor otomotif dianggap sebagai sektor strategis, banyak risiko yang muncul akibat perjanjian eksklusivitas yang tidak sehat ini.
Dia menyoroti praktik distributor yang memaksa dealer untuk memilih antara hanya menjual merek tertentu atau menghadapi konsekuensi berat jika mereka mencoba menjual merek lain.
"Hal ini secara tidak langsung menciptakan sistem yang menekan inovasi dan mengurangi kesempatan bagi perusahaan baru untuk berkembang," kata Dian.
Perjanjian eksklusivitas yang dilakukan antara ATPM dan dealer-dealer ini, lanjutnya, telah melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Meski UU tersebut telah ada, implementasinya sering kali lemah, dan dalam banyak kasus, para pemain besar berhasil mengakali regulasi dengan memanfaatkan posisi dominan mereka di pasar.
Dian juga menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan konsumen dan industri secara keseluruhan. KPPU, menurutnya, harus berperan lebih proaktif dalam mengawasi dan menegakkan regulasi di sektor otomotif agar persaingan bisa tetap adil dan mendukung inovasi.
Sementara itu, Guntur Saragih, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta, menyarankan agar ada kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, pelaku industri, dan KPPU untuk mendorong inovasi dan investasi yang lebih berkelanjutan di sektor otomotif.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com