fin.co.id - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengambil langkah besar dengan meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 yang mengatur penghapusan utang untuk sektor-sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk petani, nelayan, serta pelaku usaha di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan.
Keputusan ini tentu memicu berbagai reaksi, terutama dari kalangan pengusaha dan ekonom. Meskipun banyak yang mengapresiasi kebijakan tersebut, tidak sedikit pula yang mempertanyakan apakah ini benar-benar solusi jangka panjang atau hanya langkah sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Dampak Positif: Menyegarkan Kembali Usaha yang Terpuruk
Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memberikan tanggapan positif terhadap kebijakan ini. Menurutnya, penghapusan utang dapat membuka peluang baru bagi para pelaku UMKM, terutama mereka yang selama ini terhambat oleh catatan kredit buruk atau masalah BI Checking.
"Sebagian nelayan, meskipun memiliki kemampuan bayar yang baik, terkendala oleh BI Checking. Ini artinya mereka bisa mengakses kredit baru dan memperbaiki permodalannya," jelas Tauhid, Rabu, 6 November 2024.
Bahkan, Tauhid menganggap langkah ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama melalui akses kredit yang lebih mudah bagi pelaku UMKM.
Menurutnya, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi, yakni sekitar 8 persen, UMKM harus didorong untuk berkembang lebih pesat.
Dengan menghapus "daftar negatif" dari para pengusaha kecil dan menengah, kebijakan ini bisa menjadi dorongan yang sangat diperlukan untuk menstabilkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
Tantangan dan Batasan Kebijakan
Namun, kebijakan ini bukan tanpa kritik. Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, menjelaskan bahwa penghapusan utang ini hanya akan berlaku bagi satu juta pelaku UMKM yang sudah terdaftar di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai inklusivitas kebijakan tersebut. Apakah hanya segelintir pelaku UMKM yang berada dalam sistem perbankan yang akan merasakan manfaatnya, sementara mayoritas lainnya, yang sering kali berada di luar jangkauan lembaga keuangan formal, tetap terpinggirkan?
Selain itu, meski kebijakan ini memberikan angin segar bagi para pelaku UMKM yang berutang, kebijakan semacam ini juga sering kali dipandang sebagai bentuk pemadam kebakaran—merespons masalah yang bersifat jangka pendek tanpa mengatasi akar masalah yang lebih mendalam.
Salah satu kritik yang muncul adalah, apakah penghapusan utang ini akan mengarah pada pembenahan sistem pembiayaan UMKM secara menyeluruh, ataukah hanya memberi ruang bagi kelangsungan usaha-usaha yang sudah berada dalam kondisi kritis?
Kebijakan yang lebih komprehensif, misalnya, yang mengarah pada perbaikan ekosistem pembiayaan dan pengelolaan usaha, mungkin akan lebih berdampak jangka panjang.
Kapan UMKM Dapat Mandiri Tanpa Tergantung pada Kebijakan Pemerintah?
Pengamat ekonomi lainnya berpendapat bahwa meskipun langkah Prabowo ini sangat membantu para UMKM yang terperangkap dalam utang, kebijakan semacam ini tidak akan menyelesaikan masalah struktural yang dihadapi oleh sektor UMKM.
Salah satunya adalah ketergantungan berkelanjutan terhadap kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah keuangan.
Ketika solusi sementara seperti penghapusan utang menjadi pilihan utama, banyak yang khawatir bahwa UMKM akan terus terjebak dalam pola yang sama, bergantung pada program pemerintah alih-alih memperbaiki fundamental usaha mereka sendiri.