fin.co.id – Ketidakadilan dalam distribusi subsidi energi di Indonesia semakin mengemuka. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa sekitar 20-30 persen subsidi energi, termasuk BBM, listrik, dan LPG, justru dinikmati oleh masyarakat yang mampu, bukan oleh mereka yang membutuhkan.
Dalam kondisi ini, pemerintah telah memutuskan untuk membentuk satuan tugas (satgas) guna meneliti dan mengkaji kembali sistem subsidi yang ada.
Realitas Subsidi yang Tak Tepat Sasaran
Bahlil menyatakan, “Kita tahu subsidi kita sekarang mencapai Rp435 triliun di 2024, dengan sekitar Rp100 triliun di antaranya berpotensi jatuh ke tangan yang tidak berhak.” Angka ini mencerminkan ketidakberdayaan pemerintah dalam memastikan bahwa bantuan yang diberikan tepat sasaran.
Dengan potensi penyimpangan yang besar, seolah-olah ada dua Indonesia: satu yang terjebak dalam kemiskinan dan satu lagi yang tak merasa beratnya beban hidup meskipun mendapatkan subsidi.
Baca Juga
- Dukung Konektivitas Wilayah hingga 3T, ASDP Operasikan 84 unit Armada untuk Layani 208 Lintasan Perintis di seluruh Indonesia
- Kisruh Kenaikan PPN 12 Persen: Pekerja dan Pengusaha Serahkan Keputusan ke Manajemen, Dampaknya Siapa yang Tahu?
Lebih lanjut, Bahlil menyebutkan bahwa selama ini laporan dari PLN, Pertamina, dan BPH Migas menunjukkan adanya penyimpangan dalam penyaluran subsidi. Pernyataan ini menciptakan pertanyaan besar: apakah pemerintah benar-benar mampu menindaklanjuti kajian ini dalam waktu dua minggu, seperti yang ditargetkan?
Subsidi vs Bantuan Langsung Tunai: Solusi atau Masalah Baru?
Rencana pemerintah untuk mengalihkan subsidi energi ke bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi topik hangat.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, mengungkapkan bahwa meskipun langkah ini dapat memaksa masyarakat beralih ke transportasi umum dan memangkas anggaran subsidi, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua penerima BLT masuk dalam kategori miskin. “Aspiring middle class” atau mereka yang berada di ambang kemiskinan berpotensi menjadi korban dari kebijakan ini.
Di tengah pergeseran kebijakan yang berpotensi menguntungkan, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat?
"Mengubah subsidi menjadi BLT dapat mengurangi ketergantungan terhadap BBM, tetapi juga berisiko menambah jumlah orang yang jatuh ke dalam kemiskinan," tegas Bhima, saat dihubungi Disway, Senin, 4 November 2024.
Baca Juga
- Pakar Ungkap Bahaya Penggunaan Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan untuk Program 3 Juta Rumah
- Minuman Beralkohol Buatan Indonesia Diminati Banyak Negara
Dampak Sosial yang Harus Diperhatikan
Dampak dari perubahan ini tidak bisa diabaikan. Jika mekanisme BLT tidak menyasar kelompok rentan secara tepat, kita mungkin akan melihat peningkatan angka kemiskinan.
Bhima mencatat, “Jika BLT hanya menyasar orang miskin, maka masyarakat kelas menengah yang rentan akan terjebak dalam situasi sulit.”
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan dengan cermat, bukan hanya untuk memenuhi target anggaran tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan rakyat. Dengan sekitar 137,5 juta orang dalam kategori "aspiring middle class", pendekatan ini harus lebih inklusif.
Kesimpulan: Kesejahteraan Rakyat Harus Jadi Prioritas
Dengan besarnya anggaran subsidi energi yang direncanakan, tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah bagaimana memastikan bahwa subsidi tersebut benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan.
Rencana untuk membentuk satgas dan meneliti kembali distribusi subsidi adalah langkah yang perlu dihargai, tetapi hasil akhirnya yang lebih penting.
Apakah langkah ini akan berujung pada keadilan sosial dan ekonomi, atau justru akan menjadi tambahan beban bagi rakyat? Pertanyaan ini harus dijawab dengan tindakan yang nyata dan efektif. (DSW/Sabrina)
Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq