fin.co.id - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep, kembali mendapat sorotan netizen setelah melakukan blusukan di Kabupaten Tangerang, Banten, pada Selasa, 24 September 2024. Anak bungsu Presiden Jokowi itu mengenakan rompi bertuliskan "Putra Mulyono". Mulyono merupakan nama kecil Jokowi.
Sebelum Kaesang, anak Jokowi yang lain, Gibran Rakabuming, juga pernah mendapat perhatian. Pada 30 Desember 2023, melalui akun X pribadinya, Gibran membagikan meme bertuliskan “Panggil Aku Samsul Paman”. Julukan Samsul merupakan akronim dari asam sulfat yang diberikan warganet.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas MNC, Widiya Noviasari, memuji gaya komunikasi Gibran dan Kaesang yang mampu menghadapi serangan di media sosial dengan santai dan elegan.
Menurut Widiya, dalam perspektif komunikasi politik, Gibran dan Kaesang menggunakan strategi Self Defense Humour dengan merespons berbagai fitnah, nyinyiran, serta serangan dengan humor yang cerdas.
Self Defense Humour bisa diterjemahkan secara harfiah sebagai Humor Bela Diri. Istilah ini merujuk pada penggunaan humor untuk meredakan ketegangan, menghadapi situasi sulit, atau menangkis serangan verbal.
Meski masih muda, Gibran dan Kaesang dinilai telah menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, tidak mudah tersinggung ketika mendapatkan kritik dari publik. Gaya komunikasi politik Kaesang ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu tradisi Jawa, teknologi, dan psikologis generasi milenial.
“Pertama, orang Jawa itu mendukung konsep harmoni. Ajaran-ajaran budaya Jawa tidak suka menyerang secara frontal. Ini melekat pada putra Presiden Jokowi. Mereka membawa tradisi politik Jawa dalam komunikasi politiknya,” ujar Widiya pada Rabu 2 September 2024
Baca Juga
“Perspektif komunikasi budaya, apa yang dibawa dari budaya itu dikomunikasikan kepada publik sesuai tradisi yang diterima dari budaya sekitar dan diwariskan orang tua. Jadi, sulit untuk berharap bahwa Kaesang dan Gibran akan baper terhadap ejekan, fitnah, dan segala hal negatif yang mereka terima,” tambahnya.
Kedua, Widiya menjelaskan bahwa Gibran dan Kaesang adalah bagian dari generasi milenial yang akrab dengan dunia digital dan informasi. Keduanya dinilai berhasil memanfaatkan media sosial dengan efektif untuk merespons publik dengan gaya yang nyentrik.
“Jangan lupakan (bahwa) mereka adalah generasi native digital. Perspektif komunikasi mereka sangat dipengaruhi dan dimainkan oleh media sosial sebagai platform politik mereka. Mereka membaca, mengenali, dan memengaruhi persepsi publik melalui media sosial,” jelasnya.
“Layaknya anak muda sekarang, media sosial menjadi alat komunikasi dan transaksi gagasan. Komunikasi politik melalui media sosial menyerap informasi secara langsung, dan mereka tidak mudah terbawa perasaan,” imbuhnya.
Ketiga, Widiya menjelaskan bahwa Gibran dan Kaesang berkomunikasi dengan gaya milenial, namun tidak reaktif dalam menanggapi kritik yang ditujukan kepada mereka.
Widiya menambahkan bahwa mereka mencoba bersikap santai dan tidak merasa perlu merespons kritik dengan kemarahan atau serangan balik kepada pihak yang mengkritik. Sikap ini secara tidak langsung menjadi "serangan balik" bagi para pengkritiknya, karena mereka tidak terprovokasi.
“Secara psikologis, Gibran dan Kaesang mengamati apa yang menjadi konsumsi publik, kemudian menampilkannya dengan gaya milenial mereka. Mereka menanggapi kritik secara santai, menjawabnya dengan bukti, dan tidak menghabiskan waktu untuk berbalas komentar politik,” paparnya.
“Tiga kondisi ini yang membentuk dan memengaruhi sikap politik mereka, sehingga membuat publik melihat mereka sebagai politisi yang penuh kedewasaan,” lanjutnya.