"Dan disini kalimat yang krusial, dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan atau distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan di bidang ketenagalistrikan,"
"Jadi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen akan EBT, dipenuhi melalui dua cara, yang pertama melalui green RUPTL. Berarti PLN harus menyiapkan ini. Dan boleh dong swasta membangkitkan sendiri dan menjual sendiri, lalu sewa jaringan itu ke PLN. Jadi jangan terkecoh dengan istilah teknis power wheeling. Jadi bukan sekedar sewa jaringan, poin pentingnya pembangkit listrik swasta bisa menjual langsung listrik tanpa melalui PLN," tegasnya.
Menurut Mulyanto, sekarang ini sesuai Undang-undang, PLN adalah single buyer, single seller, PLN Monopoli. "Tapi besok kalau ini (Power Wheeling) berlaku, maka pembangkit bisa bangkitkan EBT sendiri, bisa jual listrik sendiri, tinggal kalau gak punya jaringan, nyewa PLN, harganya diatur oleh Menteri Keuangan. Kalau demikian, ini adalah liberalisasi sektor kelistrikan. Tarifnya nanti tergantung mereka, bukan tergantung negara lagi," pungkas Mulyanto.
"Kalau nanti skema ini dipaksakan, kita harus melakukan perlawanan sehingga nanti listrik itu tersedia dengan lebih murah," ujar Marwan Barubara menambahkan.
Baca Juga
- Konsisten Terapkan ESG, Pertamina Group Diakui Global
- Wujud Negara Hadir, Pemerintah dan PLN Berhasil Listriki 99,92 Persen Desa di Seluruh Indonesia
"Bahwa nanti kita perlu untuk mencapai targen emisi karbon nol persen di 2060, untuk itu itu di RUPTL 2024-2033 itu misalnya EBT nya akan dibangun sekian Giga Watt dan itu distribusinya sekitar 35 persen dari total daya pembangkit di Indonesia. Kita paham ini, tapi kita juga mengingatkan target ini, pemerintah memaksakan harus tercapai dengan membuat aturan-aturan yang merugikan negara, BUMN dan rakyat," tegas Marwan Batubara. (*)