Catatan Dahlan Iskan . 04/02/2024, 06:00 WIB
Tentu status perdikan itu hilang di kemudian hari. Setelah tahun 1996 Fen Yang jadi satu kabupaten tersendiri.
Keturunan Guo Ziyi pun menyebar ke mana-mana. Termasuk ke satu desa kecil sekitar 30 menit dari kota Putian di provinsi Fujian. Saya melewati desa ini beberapa waktu lalu. Yakni saat bermobil dari Xianyou ke Putian.
Saat itu saya belum tahu bahwa Romo Ami S. Winata berasal dari desa itu: Desa Ling Pian. Yakni satu desa di lereng timur sebuah bukit kecil. Dari bukit Liang Pian ini terlihat pantai timur Tiongkok yang menghadap ke Taiwan.
Kalau saja saya tahu itu saya pasti mampir ke Liang Pian. Di situ juga ada kelenteng Fen Yang. Juga menampilkan patung Jenderal Guo Ziyi sebagai dewa utama. Besarnya serupa dengan yang di Teluk Gong. Nama Fen Yang diambil dari daerah perdikan yang diberikan kepada Jenderal Guo Ziyi.
Setelah mendalami masalah kelenteng ayahnya itu barulah Romo Ami tahu: ini kelenteng Buddha. Vihara. Saat itu tidak ada yang tahu. Dikira itu kelenteng Tao. Yang datang untuk sembahyang di situ pun dari berbagai keyakinan: Tao, Konghucu, Buddha.
Memang di kanan-kiri altar Jenderal Guo Ziyi masih banyak altar untuk berbagai dewa lainnya. Setidaknya ada 20 altar di dalam bangunan utama kelenteng Fen Yang. Setiap altar dihuni beberapa dewa.
Ada dewa untuk yang ingin dapat jodoh. Untuk yang ingin punya anak. Banyak rejeki. Punya ketenangan jiwa. Rukun rumah tangga. Pun untuk yang ingin dapat pangkat tinggi.
Kelenteng Fen Yang, sejak dipimpin Romo Ami, dua kali lebih besar dibanding saat dibangun sang ayah. Bahkan kini ditambah satu ruang besar lagi di sebelahnya: untuk kebaktian Buddha Mahayana. Saat saya mampir ke ruang besar itu para bikhu lagi menghias ruangan –menjadi bersuasana Imlek.
Setelah semua dibersihkan, dimandikan dan kembali ke ornamen warna aslinya para dewa itu ditata ulang. Dikembalikan ke tempat semula. Mereka siap menyambut kedatangan umat di hari raya Imlek nanti.
Harusnya dalam seminggu ini tidak ada yang datang untuk sembahyang. Bukan saja dewa mereka lagi dimandikan, juga para dewa itu dipercaya sedang tidak ada di kelenteng. Sejak dua hari lalu mereka dipercaya sedang ada di langit. Mereka baru akan kembali ke kelenteng lagi sehari sebelum hari raya Imlek.
Tapi saya lihat masih banyak juga orang yang datang untuk sembahyang. Mereka membakar hio dan melakukan gerakan sembahyang di depan altar. Saya merasa kurang sopan: saat mereka sembahyang itu saya lagi di atas altar: membersihkan para dewa itu.
Selama setahun di tempatnya, para dewa itu seperti menghitam. Terlalu banyak abu dari hio yang menempel di situ. Setelah dibersihkan terlihat kembali ke warna asli yang cerah.
Setelah bersih, barulah mereka disiram dengan air yang dimasuki sembilan macam bunga. Harum.
Menjelang pukul 12.00 saya turun dari altar. Pembersihan dan permandian selesai. Dari bawah saya mendongak ke atas altar. Betapa bersih mereka.
Sambil makan siang kami diskusi soal agama. Romo Ami begitu menguasai ajaran Budha. Kalau dulu Ami dekat dengan para jenderal ia sendiri ternyata keturunan jenderal besar. Baktinya pada orang tua membawanya menjadi rohaniawan, Romo Ami.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com